Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label cerpen

Dulu, aku begitu mengharapkanmu.

Ada pepatah lama yang mengatakan tak kenal maka tak sayang. Sialnya aku lebih dulu "sayang" sebelum mengenalmu. Bagaimana mungkin? Mungkin saja, kita bisa saja jatuh hati meski belum pernah bertemu. Lalu bagaimana? Daring, menjadi salah satu jalan yang memiliki peluang itu. "Jatuh cintanya daring, patah hatinya luring" ini adalah kalimat ter-pahit yang pernah aku alami sebelumnya. Aku pernah... Mengharapkan temu yang tak kunjung kau jamu, mengharapkan rindu yang tak kunjung kau redam, mengharapkan janji yang tak pernah terbukti. Ya, benar. Daring mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Bahkan dulu... Aku begitu mengharapkanmu. Menunggu kabar yang tak kunjung ku dapat. Padahal kau hanya membalas pesan ketika sempat. "Aku ini kau anggap apa?" Pertanyaan bodoh yang sudah kuketahui jawabannya. Aku memilih menjauhimu lebih dulu, meski tanpa kau jelaskan berulang kali, aku sudah begitu paham. Bahwa kau memintaku untuk menjauh. Kini, mendengar namamu tak

Memorial

Rintik hujan kembali menemaniku saat ini, gemuruh suaranya membuatku semakin sadar bahwa hujan sangat tegar. Meskipun ia jatuh berkali-kali, namun masih saja ingin kembali. Ku singkap tirai yang menutupi jendela. Terlihat di luar sana anak-anak kecil dengan euforia menikmati hujan turun. Ku lihat di sekeliling rumah ranting dan dedaunan turut berbahagia menyambut hujan. Suara katak yang menyanyikan lagu entah-berentah, Aku sama sekali tidak paham. “Andin, makan Nak!. Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu” suara Ibu di balik pintu mulai terdengar. Aku masih saja memandangi hujan dari balik jendela. Rasanya ingin sekali Aku mengulangi masa kecilku. Menari di bawah rintikan hujan, mencuri jambu tetangga atau menangkap keong di sawah. Tetapi sepertinya, itu tidak akan mungkin terulang kembali. “Sayang… Ibu masuk ya” teriak Ibu lagi. Aku tidak tuli, Aku masih bisa mendengar suara Ibu. Namun, Aku enggan saja momen ini ada yang mengganggu. “Andin, kamu sedang melihat apa Nak?” uja

Sedu Sedan

Setiap orang berhak mengungkapkan perasaannya. Bahagia, dapat di ungkapkan melalui rasa syukur atau tangis haru. Sedangkan sedih, hanya dapat di ungkapkan dengan tangisan saja. Perkenalkan namaku Aprilia Martha gadis berusia 25 tahun yang baru saja menyelesaikan pendidikan strata dua di salah satu Universitas terbaik dunia. Hari ini Aku memutuskan untuk pulang ke tanah air. Sekadar melepas rindu kepada Mama dan menagih janji tetangga konyolku. “Halo sayang, selamat datang di Indonesia” ujar Mama ketika melihatku sudah berada di hadapannya. Satu pelukan hangat adalah hadiah pertama yang Ku peroleh. “Mama sehat?” tanyaku pelan. Mama hanya mengangguk pelan dan mengusap air mata yang berlinang di pipinya. Sungguh egois Aku ini, hanya memikirkan pendidikan tanpa peduli ada seorang malaikat yang menanti kedatanganku. “Ayo Ma, kita pulang!” ajakku kepada Mama yang masih enggan melepaskan pelukannya. Kamipun bergegas menuju rumah, Aku sudah sangat rindu dengan suasana rumah. Seja

Pengabdian Untuk Pulau Ku yang Malang

Gemericik air perlahan mengikuti arus dengan tenangnya, selalu berusaha mencari celah bebatuan yang menghalangi agar dapat terus mengalir. Aku suka filosofi air, ia sangat tegar meskipun bebatuan besar menghalang. Jika saja ia akan terhenti di sebuah kubangan, lambat laun akan tetap mengalir(lagi). Dengan cara, berhenti sejenak lalu mengumpulkan air lainnya agar dapat melewati kubangan. Aku yang sedari tadi hanya duduk termangu menatap kubangan air berwarna cokelat di depanku. Perkenalkan namaku Sonia Aku berasal dari sebuah desa di ujung barat Pulau Bangka. Apakah kau mengenal pulau ini? Bukan, pulau ini tidak lagi menjadi bagian dari Pulau Sumatera yang kalian tahu. Antara Pulau Bangka dan Sumatera dipisahkan oleh Selat Bangka. Sedangkan antara Pulau Bangka dan Belitung di pisahkan oleh Selat Gaspar. Kepulauan Bangka Belitung memisahkan diri dari Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 21 November 2000. Tergolong muda memang, namun pulau ini sudah memiliki banyak prestasi. Salah satu

Penantian tak Berujung

Penantian tak Berujung Karya: Fifi Nurhafifah Kini hanya aku yang masih merasakan kehadiranmu, mereka melupakan begitu saja setelah kau pergi. Tapi aku yakin kita akan bertemu lagi entah dimana dan kapan waktunya. Rintik hujan perlahan mengguyur tubuhku menyisakan kepahitan yang teramat dalam, kau yang seharusnya duduk disampingku kini telah menghilang dan tak akan pernah kembali. “Cia ayo kita pulang nak!” panggilan itu yang terus berulang, yang dapat kupastikan itu adalah suara ibu. Aku hanya dapat terpaku melihat gundukan tanah didepanku. Aku masih tak percaya Bagus meninggalkan ku secepat ini. Nisan yang bertuliskan namanya pun hanya dapat ku peluk dengan erat, berusaha ku keluarkan semua perasaanku yang teramat dalam padanya. Dengan tersedu-sedu aku masih sempat menaburkan bunga diatas pusaranya. “nak ayo pulang nanti kamu sakit, sudahlah ikhlas kan saja Bagus ia pasti akan ikut sedih melihat kamu seperti ini cia” kata ibu menenangkan. Bagaimana mungkin aku bisa

PUNCAK HARAPAN

Puncak Harapan karya: Fifi Nurhafifah Jam dinding baru saja berdentang dua belas kali. Seluruh lampu sudah dimatikan. Hanya suara jarum detik yang terdengar jelas sejak tadi, sesekali terdengar langkah orang berlalu di jalanan. Kini terdengar langkah lagi. Kali ini perlahan dan hati-hati. Lalu berhenti. Tepat di depan rumah, dengan sigap Ku buka tirai yang berada tepat di samping ranjang Ku. Ku awasi daerah di sekitar rumah dengan penuh keingintahuan. “Siapa disana?” tanya Ku pada sesosok misterius yang berdiri tepat di depan rumahku, dia hanya terdiam sambil sesekali tersenyum kepadaku. Saat itu suasana di luar sangat mengerikan dimana tertambah oleh rintikan hujan, iya pukul 00.00 tepatnya “tolong!!!!!!” teriakku.   krekkk, terbuka lah pintu kamar Ku “non belum tidur” tanya bik Ijah kepadaku. “hemmm, belum bik sebentar lagi” jawab Ku lirih, bik Ijah terlihat heran saat melihat tirai kamarku terbuka, “Aku lihat ada sesosok misterius di depan rumah kita” jelasku,   “