Langsung ke konten utama

Dulu, aku begitu mengharapkanmu.

Ada pepatah lama yang mengatakan tak kenal maka tak sayang. Sialnya aku lebih dulu "sayang" sebelum mengenalmu. Bagaimana mungkin? Mungkin saja, kita bisa saja jatuh hati meski belum pernah bertemu. Lalu bagaimana? Daring, menjadi salah satu jalan yang memiliki peluang itu. "Jatuh cintanya daring, patah hatinya luring" ini adalah kalimat ter-pahit yang pernah aku alami sebelumnya. Aku pernah... Mengharapkan temu yang tak kunjung kau jamu, mengharapkan rindu yang tak kunjung kau redam, mengharapkan janji yang tak pernah terbukti. Ya, benar. Daring mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Bahkan dulu... Aku begitu mengharapkanmu. Menunggu kabar yang tak kunjung ku dapat. Padahal kau hanya membalas pesan ketika sempat. "Aku ini kau anggap apa?" Pertanyaan bodoh yang sudah kuketahui jawabannya. Aku memilih menjauhimu lebih dulu, meski tanpa kau jelaskan berulang kali, aku sudah begitu paham. Bahwa kau memintaku untuk menjauh. Kini, mendengar namamu tak

PUNCAK HARAPAN



Puncak Harapan
karya: Fifi Nurhafifah

Jam dinding baru saja berdentang dua belas kali. Seluruh lampu sudah dimatikan. Hanya suara jarum detik yang terdengar jelas sejak tadi, sesekali terdengar langkah orang berlalu di jalanan. Kini terdengar langkah lagi. Kali ini perlahan dan hati-hati. Lalu berhenti. Tepat di depan rumah, dengan sigap Ku buka tirai yang berada tepat di samping ranjang Ku. Ku awasi daerah di sekitar rumah dengan penuh keingintahuan. “Siapa disana?” tanya Ku pada sesosok misterius yang berdiri tepat di depan rumahku, dia hanya terdiam sambil sesekali tersenyum kepadaku. Saat itu suasana di luar sangat mengerikan dimana tertambah oleh rintikan hujan, iya pukul 00.00 tepatnya “tolong!!!!!!” teriakku.
 krekkk, terbuka lah pintu kamar Ku “non belum tidur” tanya bik Ijah kepadaku.
“hemmm, belum bik sebentar lagi” jawab Ku lirih, bik Ijah terlihat heran saat melihat tirai kamarku terbuka,
“Aku lihat ada sesosok misterius di depan rumah kita” jelasku,
 “sudahlah non mungkin itu hanya khayalan non saja” ungkap bik Ijah seraya menenangkan Ku. Diberikan Ku segelas air putih lalu Ku teguk secara perlahan, tak lama kemudian bik Ijah meninggalkan Ku, Aku pun melanjutkan tidur Ku dan berfikir tidak akan membahasnya lagi.
            Bangun Ara, bangun !! Kata itu yang selalu Aku dengar saat matahari mulai menjelma masuk kedalam kamar Ku. Ku rasakan mukaku terpercik oleh suatu cairan yang perlahan membasahi mukaku.
“Apaan sih bu, ini kan masih pagi, lagi pula ini hari Minggu” jelasku pada ibu,
“hari Minggu apanya hari ini kan hari Sabtu cepat bangun kalau tidak kamu akan   terlambat pergi ke sekolah” paksa ibu seraya menggoyangkan–goyangkan badanku.
“Apa bu hari sabtu?” terperanjat Ku dari tempat tidur sambil menggapai handuk yang tergantung di sisi pojok kamar bergegas Ku mandi, selepas mandi Ku siapkan semua buku dan memakai seragam, “sepelupa inikah Aku?”gumamku dalam hati.
Tanpa sarapan bergegas Ku meninggalkan rumah dan mengayuh sepedapun lebih Ku percepat.
“Stop pak, jangan di tutup dulu dong gerbangnya Ara kan belum masuk” pintaku pada pak satpam,
“tapikan kamu sudah terlambat” jelas pak satpam kepadaku,
“jadi gimana dong pak?” tanyaku meminta kepastian,
 “ya kamu nggak boleh masuk” jawab pak satpam.
 “Eh liat deh pak ada kepsek tu manggil ” kataku Aku pun bergegas menuju ke kelas. “Yes” itulah yang kukatakan acapkali Ku datang terlambat. Tiba-tiba toa berbunyi panggilan kepada Agathis Dammara segera ke koridor sekarang karena ada kiriman,
“apa? kiriman, sejak kapan ada orang yang mengirimiku barang” gumamku,
“ini ada barang kiriman” kata pak Burhan penjaga sekolah sembari memberikan sebuah kotak berbalut kain hitam, Ku buka perlahan kotak tersebut Ku temukan bunga keabadian berada di dalamnya.
“Haaa apa Edelweis ?” tanyaku heran.
“Siapa yang berbaik hati memberikan bunga yang sudah langka ini” pikirku, hanya decak kagum yang dapat Ku ungkapkan saat ini. Ku lihat dibalik kotak tersebut tertera kata “puncak Mahameru” Ku tak tahu maksud semua ini ya, memang bunga ini hanya dapat tumbuh di pegunungan dan tempat itu adalah cita-cita ku untuk berkunjung. Ku sembunyikan bunga tersebut di tempat yang mungkin tiada seorangpun yang tahu kecuali Tuhan dan diriku tentunya. Kembali Ku menuju kelas bermaksud untuk mengikuti pelajaran yang sedang berlangsung. Sesampainya di kelas terdengar bunyi toa sekolah dan “Hore!!!!!!” teriakku, suarakulah yang paling keras terdengar saat pengumuman tersebut telah selesai, bahagianya hatiku bahwa libur semester ini 1 bulan, “jadi libur ini Aku bisa berkunjung ke tempat yang aku impikan” fikirku, bergegas ku tarik tas yang berada di loker kelas lalu mengambil bunga tadi dan menuju gerbang, padahal Ku yakin waktu pelajaran belum berakhir. Ku abaikan satpam yang memanggil namaku. Segera Ku kayuh sepeda menuju rumah.
 “Kamu sudah pulang Ra?” tanya ibu kepadaku.
“Sudah dong” jawabku sambil menyalami ibu.
 “Tapi kok Roni belum pulang Ra?” tanya ibu penasaran,
Haduh lagi-lagi ibu tak percaya dengan Ku. Kenapa harus Roni? iya, tetangga ku yang selalu menjadi mata-mata dan perbandingan Ku di sekolah.
“Mungkin dia lagi ada pelajaran tambahan bu” jawabku singkat.
Segera ku tinggalkan ibu dan memasuki kamar, kubuka kotak tadi, “akhirnya Aku bisa punya bunga secantik ini” gumamku dalam hati, saat Ku memandangi bunga itu dengan seksama, Ku melihat ada seklebat bayangan hitam melewati jendela dengan sigap Ku buka tirai dan Ku perhatikan di sekeliling rumah namun tiada seorangpun yang tertangkap penglihatan Ku. Aku masih bingung akan semua hal yang menimpaku ini.
“Ibu!!!!!!” teriakku.
“Kenapa Ra?” tanya ibu.
 “Kapan Ara bisa ke Semeru? Ara udah nggak sabar nih bu”, tanyaku pada ibu.
 “Memangnya kalian libur berapa hari” tanya ibu lagi,
“1 bulan” jawabku singkat.
“Ya sudah kau tanya saja pada ayahmu” pinta ibu.
“Tapikan ayah masih di luar kota bu” jawab Ku,
“sama siapa kamu pergi” tanya ibu lagi,
“Meti bu” jawab Ku dengan penuh semangat.
“Ya sudah, pergilah ibu bisa meminta izin pada ayahmu” lanjut ibu. “Yes” teriakku penuh kegirangan. Ku persiapkan semua peralatan, ini kali pertama ku mengunjungi gunung tertinggi di Pulau Jawa itu namun Aku sudah cukup piawai dalam hal mendaki karena selain kegemaranku, Aku juga sejak kecil sudah di latih oleh ayah. Berniat untuk menyiapkan semua peralatan besok Ku bergegas mengambil barang-barang yang Ku perlukan dan hendak mengemsnya namun badanku terasa sangat letih sehingga tak sadar aku tertidur beralaskan tenda yang hendak Ku bawa besok pagi. Aku baru tersadar saat, iya Seperti biasa ibu harus membangunkanku terlebih dahulu namun hari ini Aku bangun lebih awal dari biasanya karena sudah harus bersiap-siap pergi ke bandara.

Ku berpamitan pada ibu dan bik Ijah, dan ternyata Meti sudah menunggu ku di depan rumah, Ku lambaikan tangan seraya meminta doa pada ibu dan semua orang di rumah. Sesampainya di bandara kamipun segera menaiki pesawat. Sangking asyiknya kami ngobrol tak terasa bahwa kami sudah sampai di Malang. “Hore, petualangan dimulai” kataku. Kamipun melanjutkan perjalanan menuju Semeru. Gunung berketinggian 3676 meter di atas permukaan laut ini memiliki banyak kisah yang mampu menarik perhatian para pendaki termasuk Aku dengan Meti. Untuk naik ke gunung ini, salah satu jalur yang harus kami tempuh adalah melalui kota Malang. Dari kota Apel ini, pendakian ke Gunung Mahameru kami mulai dari sebuah daerah bernama Ranu Pani. Di Ranu Pani ini, banyak pendaki mulai menentukan waktu untuk mengawali pendakian. Dari Ranu Pani, kami melanjutkan perjalanan setengah hari menuju daerah bernama Ranu Kumbolo. “Haduh capek banget deh “ omelan itulah yang acapkali Ku katakan karena wajar, Aku baru kali pertama mendaki Mahameru yang medan tempuhnya memang sangat sulit untuk pemula seperti Ku, sesekali kaki Ku terperosok kedalam kubangan air karena saat itu hujan baru saja mengguyur kota Apel. Meskipun sama halnya dengan Meti yang juga baru kali pertama mendaki Semeru namun Meti nampak menikmati petualangan ini.                                                                             Di lokasi ini, terdapat danau sehingga banyak  para pendaki lain sering menghabiskan malam untuk beristirahat dan menikmati keindahan danau di atas ketinggian. Di sini kutemukan banyak pendaki yang sudah mahir karena mereka rata-rata sudah kali ke tiga atau bahkan ada yang sudah kali ke enam mendaki Mahameru ini. Kami saling bertukar cerita dan pengalaman, hal tersebut sangat menyenangkan dimana ia bercerita tentang pendakiannya yang ekstrem, pak Jordy, itulah panggilannya ia pernah hampir saja terkena jatuhan batu yang sangat besar untung saja ia piawai menghindari hal ini. Saat hari menjelang malam Aku dan Meti mendirikan tenda yang sesekali di bantu oleh pendaki lain. Setelah tenda berdiri, segera Ku rebahkan badanku sambil sesekali Ku pejamkan mata dan menghirup nafas yang sangat dalam lalu Ku helakan secara perlahan terasa udara pegunungan yang begitu dingin merasuki rongga paru-paru Ku. “Gila keren banget ya Ranu Kumbolo ini Met, tak terasa perjalanan yang jauh tadi dapat kita lalui dan bayarannya pun setimpal dengan perjuangan kita tadi” kataku, Aku terheran saat Ku bercerita panjang kali lebar sama dengan luas, tiada respon sedikitpun dari Meti sekedar mengiyakan celoteh Ku. Saat Ku hendak terperanjat dari keaadaan Ku yang tadi terlihat Meti sudah tertidur pulas, ia tadi memang terlihat sangat semangat dalam perjalanan namun ia juga punya titik jenuh tak heran memang, yang dibawa dalam ranselnya sangat berat entah Aku pun tak bertanya tadi, apa saja yang ia bawa. Rasa lapar melanda perutku, akhirnya Ku putuskan meninggalkan Meti sesaat sekedar ingin melihat para pendaki lain siapa tahu mereka sedang bakar-bakar, lumayan untuk mengisi perut kosong pikirku. Saat hendak keluar tenda pandangan Ku langsung tertuju pada cahaya oranye yang berada tepat di tengah danau Ku langkahkan kaki Ku perlahan kearah dimana cahaya itu berada. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat kearah Ku dan langkah tersebut makin jelas terdengar dan “tolong !!!!!!!” teriakku namun segera di bungkamnya mulutku rapat-rapat dan ternyata itu pak Jhordy syukurlah sambil menghelakan nafas lega,

“kenapa bapak belum tidur?” tanyaku pada beliau,

“kamu sedang memandangi cahaya itu kan, jangan kau dekati karena itu akan membahayakanmu. Lebih baik kau tidur karena besok kita akan berangkat pagi” kata beliau. Tanpa sempat Ku bertanya mengapa beliau berbicara seperti itu ternyata beliau sudah meninggalkan Ku terlebih dahulu. Aku pun memilih diam dan mencari tahu sendiri. Suasana di sekitar tenda sangat sepi tiada seorang pun terlihat berada di luar tenda iya, kecuali Aku. Aku masih sangat penasaran dengan cahaya itu, namun saat kali kedua Ku berniat mendekati cahaya itu lagi-lagi ada orang yang membuat Ku terkejut, orang tersebut berlari melewatiku ia mengenakan jubah hitam Ku yakin ia adalah orang yang sering mengganggu tidur malam Ku di rumah, “benarkah iya mengikuti Ku? jangan-jangan dia Roni tetangga resek itu! arggghhhhh....jika itu benar, ya Tuhan Ibu apa-apaan sih Aku kan udah gede masa’ masih harus diawasi” pikirku. “Hey siapa kau?” tanyaku penasaran, jubah hitam itupun mempercepat langkahnya hingga Ku tak dapat mengejarnya. “siapa sih orang itu kok Aku sering banget di ikutin sama dia”, bicara Ku pada diri sendiri. Dari kejauhan terdengar suara samar-samar orang memanggilku Ku awasi daerah di sekitar Ku berada namun tiada seorangpun di sini, suara tersebut makin jelas terdengar di keheningan malam,

“Kamu dari mana sih Ra?” tanya Meti dengan nada yang mengejutkan.

“Oh syukurlah kamu to ternyata” kata Ku sambil mengelus dada.

“Ayo beres-beres bawa semua barang-barang yang diperlukan kita mau ke Kalimati nih”, jelas meti.

“Oh iya deh kalo gitu”, jawabku setuju. Langkah kaki kami perlahan menjauh dari Ranu Kumbolo, ya meskipun aku masih penasaran dengan cahaya oranye tersebut namun apa boleh buat kami harus meninggalkan Ranu Kumbolo dengan segera. Sesampainya di tenda kami membawa semua peralatan karena kami masih akan bermalam disana. “Siap ayo berangkat” ajakku kepada Meti dan para pendaki lain, kami berangkat kira-kira sepertiga malam, kami berharap agar dapat segera sampai dan bisa melihat matahari terbit dari puncak Mahameru ternyata “yah, perjalanan masih panjang lagi, mana harus lewat Kalimati padahal aku kan udah capek” gerutuku. Kami berhenti sejenak di salah satu pohon besar yang kira-kira umurnya sudah mencapai ratusan tahun, “kita akan bermalam disini karena cuaca sangat tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan” tegas pak Jhordy. Sangat tidak memungkinkan memang kami menembus hujan yang mengguyur perjalanan kami sedari tadi “semoga besok nggak hujan soalnya aku udah nggak sabar pengen cepet-cepet ke Mahameru” harapku pada Tuhan.

 Kamipun segera mendirikan tenda agar dapat beristirahat sekedar mengganti baju yang basah. akhirnya sekitar 2 jam berlalu hujan pun mulai reda, “kita berangkat ke Arcopodo jam berapa?” tanya kami kepada pak Jordhy “nanti pukul 01.00 pagi”, jawab pak Jhordy singkat. Sembari menunggu waktunya tiba kami menyempatkan untuk makan malam, beristirahat dan bersantai di luar tenda bersama sekedar menghangatkan badan didekat api unggun. Tepat pukul 01.00 kami melanjutkan perjalanan, sekitar 2 jam lamanya berjalan kami menemukan sebuah dataran lapang yang sangat luas mengingat perjalanan pendakian Semeru tidaklah ringan terlintas di fikiranku “bisa nggak ya, aku sampai ke puncak?”. “Track terberat akan kamu jumpai dalam perjalanan dari Arcopodo ini” jelas pak Jhordy. Ternyata benar jalur pendakiannya berbatu dan berpasir membuat kaki ku kesulitan mengatur langkah. Jalan 5 langkah, merosot 3 langkah begitu berturut-turut. Ku fokuskan pandangan ku pada jalan dan tidak menoleh kekanan ataupun kekiri, Arcopodo tak kalah mistisnya dengan Ranu Kumbolo. “Merinding nih,” kataku kepada Meti, “berdoa saja diperbanyak” celetuk pak Jhordy kepadaku, itu dia suara pak Jhordy mengejutkan obrolan kami yang sedari tadi hening “Arcopodo” teriaknya. Arcopodo adalah akhir pos pendakian kami sebelum mencapai puncak Semeru. Kami membawa Daypack Untuk Perbekalan.

Perjalanan ke Mahameru memang tidak didesain untuk membawa keril. karena Sudut kemiringan yang cukup ekstrem bisa membuat kami kehilangan keseimbangan kalau ngotot berjalan dengan keril 60 liter di punggung. Maka dari itu, kami tinggalkan keril kami di Kalimati. Yang ku bawa cukup air mineral 1,5 liter, cokelat, kurma, dan makanan lain yang bisa mengganjal perut Ku sebagai bekal dalam daypack. Trek  ke puncak Jonggring Saloko harus kami lalui dalam keadaan gelap gulita.
“Lebih baik kalian gunakan headlamp saja sebagai alat bantu penerangan selama pendakian jangan pakai senter” Saran pak Jhordy kepada kami.
“Kenapa?” tanyaku penasaran, “Trek pendakian yang mengarah ke atas akan lebih mudah diterangi dengan headlamp” jelas pak Jhordy. Trek menuju puncak Mahameru didominasi oleh pasir, kerikil, dan batu. Karena itu, penting bagi semua pendaki mempersiapkan pengamanan seperti kacamata dan masker.  Akupun sengaja membawa trekking pole (tongkat yang didesain khusus untuk mendaki) untuk berjaga-jaga siapa tahu aku membutuhkannya nanti. Kami lanjutkan perjalanan yang sangat sulit ini, tiba-tiba “tolong!!!!!!!” teriak Meti, ternyata ia tergelincir karena tidak terbiasa dengan trek berpasir, untung aku sudah terbiasa tidak menggunakan trekking pole jadi tongkat tersebut ku berikan saja kepadanya.                                                                                                       Sekitar 3-4 jam lamanya kami sampai di pucak Mahameru, “wow sunrise nya keren banget” decak kagum pun keluar dari mulutku dan para pendaki lain. Sungguh pengalaman yang sangat menakjubkan dimana aku dan Meti bersusah payah selama beberapa hari untuk menuju puncak ini, dan ternyata ku menemukan suatu keindahan yang sangat luar biasa memang ciptaan Tuhan tiada duanya. Kami pun menikmati sunrise dengan sesekali hunting bareng teman-teman. Tak terasa hari pun semakin pagi, pandangan ku tertuju pada sebuah bayangan di balik tebing “siapa disana?” tanyaku pada sesosok jubah hitam, “lagi-lagi dirinya siapa sih sebenarnya dia itu?” tanya Meti pada ku. Akupun bergegas mengejarnya dan betapa terkejutnya aku, saat melihat seorang lelaki tampan berada di balik tebing membawa setangkai Edelweis mendekat kepadaku. “Ambilah” pintanya, aku masih linglung dibuatnya sungguh belum pernah sebelumnya ku lihat lelaki setampan ini di SMA ataupun daerah ku, sembari ku ambil bunga itu dari genggamannya ia berpesan bahwa ku harus menjaga bunga itu dan percayalah bahwa ia akan menjemputku di kemudian hari. Perlahan bayangan nya pun hilang dari hadapanku. “Kemana dia?” gumamku sambil ku awasi daerah sekitar. “Dia siapa?” tanya Meti heran, karena menurutnya tiada seorang pun yang ia lihat didekatku sedari tadi. Kamipun kembali kerombongan dan yang ada di dalam fikiranku sedari tadi hanya lelaki tampan yang berpostur tubuh tinggi, putih dan gagah tentunya, aku tak tahu dari mana asalnya dan siapa gerangan namanya yang ku tahu bahwa dia adalah orang yang membuntutiku selama ini ya, jubah hitam acapkali ku memanggilnya.
 Tak terasa hari pun semakin siang kami tak berniat untuk menunggu hingga mentari hendak pulang keperaduannya namun karena cuaca saat ini kurang mendukung Meti pun mengajak Ku untuk segera turun dan kembali kerumah. Setibanya di rumah Ku ceritakan semua pengalamanku kepada ayah dan ibu, mereka pun hanya memberikan senyuman  terlebih dimana saat Ku ceritakan Aku bertemu sesosok lelaki misterius yang selama ini mengikuti ku dan ternyata itu adalah lelaki tampan yang memberiku bunga Edelweis mereka tak habis-habisnya mengolok ku. Tetapi biarpun begitu aku akan selalu menjaga bunga pemberiannya dan aku tetap yakin bahwa lelaki tampan itu akan menjemputku. Seperti yang ia janjikan sebelumnya, aku akan terus menunggu sampai kapanpun.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kau dan Aku Adalah

Senang itu, ketika senyum simpul muncul dari kedua bibirmu. Terlebih karena aku. Sedih itu, ketika raut kekecewaan tergambar jelas diwajahmu. Lantaran aku. Canda itu, ketika kau bilang cinta. Ternyata hanya pura-pura. Candu itu senyummu, luka itu sedihmu dan bahagia itu ketika kau dan aku sungguh bisa besatu. Nyatanya, semesta tak memberikan ruang lebih kepada sang waktu. Sekadar mewujudkan yang semu menjadi temu. Faktanya, Tuhanpun berencana demikian, takdir tak membuat kau hadir meski hatiku ketar-ketir. Semua tampak nyata dalam imajinasiku. Maaf, mungkin ini sedikit halu. Aku sadar, karena sampai kapanpun. Kau dan aku adalah sebuah ketidakmungkinan.

Cula yang Tersembunyi di Balik Hutan Way Kambas

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati dan hewani. salah satu kekayaannya dibuktikan dengan luasnya hutan yang ada di Indonesia hingga mencapai 133.300.543 Hektar. Hutan Indonesia yang begitu luas menjadi alasan dijulukinya Indonesia sebagai salah satu paru-paru dunia. Pepohonan yang ada di hutan menghasilkan oksigen melalui proses fotosintesis. Tidak hanya itu, masih banyak potensi hutan di Indonesia jika dimanfaatkan dengan baik. Salah satunya adalah hutan di Taman Nasional Way Kambas(TNWK) Lampung. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Nasional Way Kambas sebagai ASEAN Heritage Park ke-36 memiliki luas 125.621,30 hektar merupakan habitat dari lima mamalia besar di Sumatra yaitu Gajah Sumatra, Badak Sumatra, Harimau Sumatra, Beruang Madu, dan Tapir. Taman Nasional ya

Pengaruh Pola Pikir Generasi Muda, Terhadap Perkembangan Literasi

Indonesia merupakan sebuah Negara dengan kebudayaan yang sangat beragam. Salah satunya dalam hal agama. Terdapat enam agama yang diakui di Indonesia antara lain: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia merupakan penganut agama Islam terbesar di dunia. Pada tahun 2010 sekitar 87,18% dari 237.641.326 penduduk di Indonesia memeluk agama Islam. Oleh karena itu, perkembangan literasi di Indonesia bahkan dunia, tidak lepas dari kontribusi generasi muda Islam. Literasi selain dikenal sebagai kemampuan menulis dan membaca, juga dapat diartikan sebagai kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Islam dan literasi cukup erat kaitannya. Menurut keyakinan umat Islam, perintah membaca sudah ada sejak zaman dahulu. Tepatnya, ketika Allah menurunkan ayat Alquran berupa surah al-alaq ayat 1-5 kepada Nabi Muhammad Saw. pada saat beliau bertafakur di gua Hira. Iqro “Bacalah” merupakan perintah pertama All