Ada pepatah lama yang mengatakan tak kenal maka tak sayang. Sialnya aku lebih dulu "sayang" sebelum mengenalmu. Bagaimana mungkin? Mungkin saja, kita bisa saja jatuh hati meski belum pernah bertemu. Lalu bagaimana? Daring, menjadi salah satu jalan yang memiliki peluang itu. "Jatuh cintanya daring, patah hatinya luring" ini adalah kalimat ter-pahit yang pernah aku alami sebelumnya. Aku pernah... Mengharapkan temu yang tak kunjung kau jamu, mengharapkan rindu yang tak kunjung kau redam, mengharapkan janji yang tak pernah terbukti. Ya, benar. Daring mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Bahkan dulu... Aku begitu mengharapkanmu. Menunggu kabar yang tak kunjung ku dapat. Padahal kau hanya membalas pesan ketika sempat. "Aku ini kau anggap apa?" Pertanyaan bodoh yang sudah kuketahui jawabannya. Aku memilih menjauhimu lebih dulu, meski tanpa kau jelaskan berulang kali, aku sudah begitu paham. Bahwa kau memintaku untuk menjauh. Kini, mendengar namamu tak
Puncak Harapan
karya: Fifi
Nurhafifah
Jam dinding baru saja berdentang dua
belas kali. Seluruh lampu sudah dimatikan. Hanya suara jarum detik yang
terdengar jelas sejak tadi, sesekali terdengar langkah orang berlalu di
jalanan. Kini terdengar langkah lagi. Kali ini perlahan dan hati-hati. Lalu
berhenti. Tepat di depan rumah, dengan sigap Ku buka tirai yang berada tepat di
samping ranjang Ku. Ku awasi daerah di sekitar rumah dengan penuh keingintahuan.
“Siapa disana?” tanya Ku pada sesosok misterius yang berdiri tepat di depan
rumahku, dia hanya terdiam sambil sesekali tersenyum kepadaku. Saat itu suasana
di luar sangat mengerikan dimana tertambah oleh rintikan hujan, iya pukul 00.00
tepatnya “tolong!!!!!!” teriakku.
krekkk, terbuka lah pintu kamar Ku “non belum
tidur” tanya bik Ijah kepadaku.
“hemmm, belum bik sebentar lagi”
jawab Ku lirih, bik Ijah terlihat heran saat melihat tirai kamarku terbuka,
“Aku lihat ada sesosok misterius di
depan rumah kita” jelasku,
“sudahlah non mungkin itu hanya khayalan non
saja” ungkap bik Ijah seraya menenangkan Ku. Diberikan Ku segelas air putih
lalu Ku teguk secara perlahan, tak lama kemudian bik Ijah meninggalkan Ku, Aku
pun melanjutkan tidur Ku dan berfikir tidak akan membahasnya lagi.
Bangun
Ara, bangun !! Kata itu yang selalu Aku dengar saat matahari
mulai menjelma masuk kedalam kamar Ku. Ku rasakan mukaku terpercik oleh
suatu cairan yang perlahan membasahi mukaku.
“Apaan sih bu, ini kan masih pagi,
lagi pula ini hari Minggu” jelasku pada ibu,
“hari Minggu apanya hari ini kan hari Sabtu cepat bangun kalau tidak kamu
akan terlambat pergi ke sekolah” paksa
ibu seraya menggoyangkan–goyangkan badanku.
“Apa bu hari sabtu?” terperanjat Ku
dari tempat tidur sambil menggapai handuk yang tergantung di sisi pojok kamar
bergegas Ku mandi, selepas mandi Ku siapkan semua buku dan memakai seragam,
“sepelupa inikah Aku?”gumamku dalam hati.
Tanpa
sarapan bergegas Ku meninggalkan rumah dan mengayuh sepedapun lebih Ku
percepat.
“Stop pak,
jangan di tutup dulu dong gerbangnya Ara kan belum masuk” pintaku pada pak
satpam,
“tapikan kamu sudah terlambat” jelas
pak satpam kepadaku,
“jadi gimana dong pak?” tanyaku
meminta kepastian,
“ya kamu nggak boleh masuk” jawab pak satpam.
“Eh liat deh pak ada kepsek tu manggil ”
kataku Aku pun bergegas menuju ke kelas. “Yes” itulah yang kukatakan acapkali Ku
datang terlambat. Tiba-tiba toa berbunyi panggilan kepada Agathis Dammara segera
ke koridor sekarang karena ada kiriman,
“apa? kiriman, sejak kapan ada orang
yang mengirimiku barang” gumamku,
“ini ada barang kiriman” kata pak Burhan
penjaga sekolah sembari memberikan sebuah kotak berbalut kain hitam, Ku buka
perlahan kotak tersebut Ku temukan bunga keabadian berada di dalamnya.
“Haaa apa Edelweis
?” tanyaku heran.
“Siapa yang berbaik hati memberikan
bunga yang sudah langka ini” pikirku, hanya decak kagum yang dapat Ku ungkapkan
saat ini. Ku lihat dibalik kotak tersebut tertera kata “puncak Mahameru” Ku tak
tahu maksud semua ini ya, memang bunga ini hanya dapat tumbuh di pegunungan dan
tempat itu adalah cita-cita ku untuk berkunjung. Ku sembunyikan bunga tersebut di
tempat yang mungkin tiada seorangpun yang tahu kecuali Tuhan dan diriku
tentunya. Kembali Ku menuju kelas bermaksud untuk mengikuti pelajaran yang
sedang berlangsung. Sesampainya di kelas terdengar bunyi toa sekolah dan “Hore!!!!!!”
teriakku, suarakulah yang paling keras terdengar saat pengumuman tersebut telah
selesai, bahagianya hatiku bahwa libur semester ini 1 bulan, “jadi libur ini Aku
bisa berkunjung ke tempat yang aku impikan” fikirku, bergegas ku tarik tas yang
berada di loker kelas lalu mengambil bunga tadi dan menuju gerbang, padahal Ku
yakin waktu pelajaran belum berakhir. Ku abaikan satpam yang memanggil namaku. Segera
Ku kayuh sepeda menuju rumah.
“Kamu sudah pulang Ra?” tanya ibu kepadaku.
“Sudah dong” jawabku sambil
menyalami ibu.
“Tapi kok Roni belum pulang Ra?” tanya ibu
penasaran,
Haduh lagi-lagi ibu tak percaya dengan Ku. Kenapa
harus Roni? iya, tetangga ku yang selalu menjadi mata-mata dan perbandingan Ku
di sekolah.
“Mungkin dia lagi ada pelajaran
tambahan bu” jawabku singkat.
Segera ku tinggalkan ibu dan memasuki kamar, kubuka
kotak tadi, “akhirnya Aku bisa punya bunga secantik ini” gumamku dalam hati,
saat Ku memandangi bunga itu dengan seksama, Ku melihat ada seklebat bayangan
hitam melewati jendela dengan sigap Ku buka tirai dan Ku perhatikan di sekeliling
rumah namun tiada seorangpun yang tertangkap penglihatan Ku. Aku masih bingung
akan semua hal yang menimpaku ini.
“Ibu!!!!!!” teriakku.
“Kenapa Ra?” tanya ibu.
“Kapan Ara bisa ke Semeru? Ara udah nggak
sabar nih bu”, tanyaku pada ibu.
“Memangnya kalian libur berapa hari” tanya ibu
lagi,
“1 bulan” jawabku singkat.
“Ya sudah kau tanya saja pada ayahmu”
pinta ibu.
“Tapikan ayah masih di luar kota bu”
jawab Ku,
“sama siapa kamu pergi” tanya ibu
lagi,
“Meti bu” jawab Ku dengan penuh
semangat.
“Ya sudah, pergilah ibu bisa meminta
izin pada ayahmu” lanjut ibu. “Yes”
teriakku penuh kegirangan. Ku persiapkan semua peralatan, ini kali pertama ku
mengunjungi gunung tertinggi di Pulau Jawa itu namun Aku sudah cukup piawai
dalam hal mendaki karena selain kegemaranku, Aku juga sejak kecil sudah di latih
oleh ayah. Berniat untuk menyiapkan semua peralatan besok Ku bergegas mengambil
barang-barang yang Ku perlukan dan hendak mengemsnya namun badanku terasa
sangat letih sehingga tak sadar aku tertidur beralaskan tenda yang hendak Ku
bawa besok pagi. Aku baru tersadar saat, iya Seperti biasa ibu harus membangunkanku
terlebih dahulu namun hari ini Aku bangun lebih awal dari biasanya karena sudah
harus bersiap-siap pergi ke bandara.
Ku berpamitan pada ibu dan bik Ijah, dan ternyata Meti sudah menunggu ku di depan rumah, Ku lambaikan tangan seraya meminta doa pada ibu dan semua orang di rumah. Sesampainya di bandara kamipun segera menaiki pesawat. Sangking asyiknya kami ngobrol tak terasa bahwa kami sudah sampai di Malang. “Hore, petualangan dimulai” kataku. Kamipun melanjutkan perjalanan menuju Semeru. Gunung berketinggian 3676 meter di atas permukaan laut ini memiliki banyak kisah yang mampu menarik perhatian para pendaki termasuk Aku dengan Meti. Untuk naik ke gunung ini, salah satu jalur yang harus kami tempuh adalah melalui kota Malang. Dari kota Apel ini, pendakian ke Gunung Mahameru kami mulai dari sebuah daerah bernama Ranu Pani. Di Ranu Pani ini, banyak pendaki mulai menentukan waktu untuk mengawali pendakian. Dari Ranu Pani, kami melanjutkan perjalanan setengah hari menuju daerah bernama Ranu Kumbolo. “Haduh capek banget deh “ omelan itulah yang acapkali Ku katakan karena wajar, Aku baru kali pertama mendaki Mahameru yang medan tempuhnya memang sangat sulit untuk pemula seperti Ku, sesekali kaki Ku terperosok kedalam kubangan air karena saat itu hujan baru saja mengguyur kota Apel. Meskipun sama halnya dengan Meti yang juga baru kali pertama mendaki Semeru namun Meti nampak menikmati petualangan ini. Di lokasi ini, terdapat danau sehingga banyak para pendaki lain sering menghabiskan malam untuk beristirahat dan menikmati keindahan danau di atas ketinggian. Di sini kutemukan banyak pendaki yang sudah mahir karena mereka rata-rata sudah kali ke tiga atau bahkan ada yang sudah kali ke enam mendaki Mahameru ini. Kami saling bertukar cerita dan pengalaman, hal tersebut sangat menyenangkan dimana ia bercerita tentang pendakiannya yang ekstrem, pak Jordy, itulah panggilannya ia pernah hampir saja terkena jatuhan batu yang sangat besar untung saja ia piawai menghindari hal ini. Saat hari menjelang malam Aku dan Meti mendirikan tenda yang sesekali di bantu oleh pendaki lain. Setelah tenda berdiri, segera Ku rebahkan badanku sambil sesekali Ku pejamkan mata dan menghirup nafas yang sangat dalam lalu Ku helakan secara perlahan terasa udara pegunungan yang begitu dingin merasuki rongga paru-paru Ku. “Gila keren banget ya Ranu Kumbolo ini Met, tak terasa perjalanan yang jauh tadi dapat kita lalui dan bayarannya pun setimpal dengan perjuangan kita tadi” kataku, Aku terheran saat Ku bercerita panjang kali lebar sama dengan luas, tiada respon sedikitpun dari Meti sekedar mengiyakan celoteh Ku. Saat Ku hendak terperanjat dari keaadaan Ku yang tadi terlihat Meti sudah tertidur pulas, ia tadi memang terlihat sangat semangat dalam perjalanan namun ia juga punya titik jenuh tak heran memang, yang dibawa dalam ranselnya sangat berat entah Aku pun tak bertanya tadi, apa saja yang ia bawa. Rasa lapar melanda perutku, akhirnya Ku putuskan meninggalkan Meti sesaat sekedar ingin melihat para pendaki lain siapa tahu mereka sedang bakar-bakar, lumayan untuk mengisi perut kosong pikirku. Saat hendak keluar tenda pandangan Ku langsung tertuju pada cahaya oranye yang berada tepat di tengah danau Ku langkahkan kaki Ku perlahan kearah dimana cahaya itu berada. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat kearah Ku dan langkah tersebut makin jelas terdengar dan “tolong !!!!!!!” teriakku namun segera di bungkamnya mulutku rapat-rapat dan ternyata itu pak Jhordy syukurlah sambil menghelakan nafas lega,
“kenapa bapak belum tidur?” tanyaku pada beliau,
“kamu sedang memandangi cahaya itu kan, jangan kau dekati karena itu akan membahayakanmu. Lebih baik kau tidur karena besok kita akan berangkat pagi” kata beliau. Tanpa sempat Ku bertanya mengapa beliau berbicara seperti itu ternyata beliau sudah meninggalkan Ku terlebih dahulu. Aku pun memilih diam dan mencari tahu sendiri. Suasana di sekitar tenda sangat sepi tiada seorang pun terlihat berada di luar tenda iya, kecuali Aku. Aku masih sangat penasaran dengan cahaya itu, namun saat kali kedua Ku berniat mendekati cahaya itu lagi-lagi ada orang yang membuat Ku terkejut, orang tersebut berlari melewatiku ia mengenakan jubah hitam Ku yakin ia adalah orang yang sering mengganggu tidur malam Ku di rumah, “benarkah iya mengikuti Ku? jangan-jangan dia Roni tetangga resek itu! arggghhhhh....jika itu benar, ya Tuhan Ibu apa-apaan sih Aku kan udah gede masa’ masih harus diawasi” pikirku. “Hey siapa kau?” tanyaku penasaran, jubah hitam itupun mempercepat langkahnya hingga Ku tak dapat mengejarnya. “siapa sih orang itu kok Aku sering banget di ikutin sama dia”, bicara Ku pada diri sendiri. Dari kejauhan terdengar suara samar-samar orang memanggilku Ku awasi daerah di sekitar Ku berada namun tiada seorangpun di sini, suara tersebut makin jelas terdengar di keheningan malam,
“Kamu dari mana sih Ra?” tanya Meti dengan nada yang mengejutkan.
“Oh syukurlah kamu to ternyata” kata Ku sambil mengelus dada.
“Ayo beres-beres bawa semua barang-barang yang diperlukan kita mau ke Kalimati nih”, jelas meti.
“Oh iya deh kalo gitu”, jawabku setuju. Langkah kaki kami perlahan menjauh dari Ranu Kumbolo, ya meskipun aku masih penasaran dengan cahaya oranye tersebut namun apa boleh buat kami harus meninggalkan Ranu Kumbolo dengan segera. Sesampainya di tenda kami membawa semua peralatan karena kami masih akan bermalam disana. “Siap ayo berangkat” ajakku kepada Meti dan para pendaki lain, kami berangkat kira-kira sepertiga malam, kami berharap agar dapat segera sampai dan bisa melihat matahari terbit dari puncak Mahameru ternyata “yah, perjalanan masih panjang lagi, mana harus lewat Kalimati padahal aku kan udah capek” gerutuku. Kami berhenti sejenak di salah satu pohon besar yang kira-kira umurnya sudah mencapai ratusan tahun, “kita akan bermalam disini karena cuaca sangat tidak memungkinkan untuk melanjutkan perjalanan” tegas pak Jhordy. Sangat tidak memungkinkan memang kami menembus hujan yang mengguyur perjalanan kami sedari tadi “semoga besok nggak hujan soalnya aku udah nggak sabar pengen cepet-cepet ke Mahameru” harapku pada Tuhan.
Kamipun segera mendirikan tenda agar dapat beristirahat sekedar mengganti baju yang basah. akhirnya sekitar 2 jam berlalu hujan pun mulai reda, “kita berangkat ke Arcopodo jam berapa?” tanya kami kepada pak Jordhy “nanti pukul 01.00 pagi”, jawab pak Jhordy singkat. Sembari menunggu waktunya tiba kami menyempatkan untuk makan malam, beristirahat dan bersantai di luar tenda bersama sekedar menghangatkan badan didekat api unggun. Tepat pukul 01.00 kami melanjutkan perjalanan, sekitar 2 jam lamanya berjalan kami menemukan sebuah dataran lapang yang sangat luas mengingat perjalanan pendakian Semeru tidaklah ringan terlintas di fikiranku “bisa nggak ya, aku sampai ke puncak?”. “Track terberat akan kamu jumpai dalam perjalanan dari Arcopodo ini” jelas pak Jhordy. Ternyata benar jalur pendakiannya berbatu dan berpasir membuat kaki ku kesulitan mengatur langkah. Jalan 5 langkah, merosot 3 langkah begitu berturut-turut. Ku fokuskan pandangan ku pada jalan dan tidak menoleh kekanan ataupun kekiri, Arcopodo tak kalah mistisnya dengan Ranu Kumbolo. “Merinding nih,” kataku kepada Meti, “berdoa saja diperbanyak” celetuk pak Jhordy kepadaku, itu dia suara pak Jhordy mengejutkan obrolan kami yang sedari tadi hening “Arcopodo” teriaknya. Arcopodo adalah akhir pos pendakian kami sebelum mencapai puncak Semeru. Kami membawa Daypack Untuk Perbekalan.
Perjalanan ke Mahameru memang tidak didesain untuk membawa
keril. karena Sudut kemiringan yang cukup ekstrem bisa membuat kami kehilangan
keseimbangan kalau ngotot berjalan dengan keril 60 liter di punggung. Maka dari
itu, kami tinggalkan keril kami di Kalimati. Yang ku bawa cukup air mineral 1,5
liter, cokelat, kurma, dan makanan lain yang bisa mengganjal perut Ku sebagai
bekal dalam daypack. Trek ke puncak
Jonggring Saloko harus kami lalui dalam keadaan gelap gulita.
“Lebih baik kalian gunakan headlamp
saja sebagai alat bantu penerangan selama pendakian jangan pakai
senter” Saran pak Jhordy kepada kami.
“Kenapa?” tanyaku penasaran, “Trek pendakian yang mengarah ke
atas akan lebih mudah diterangi dengan headlamp” jelas pak Jhordy.
Trek menuju puncak Mahameru didominasi oleh pasir, kerikil, dan batu. Karena
itu, penting bagi semua pendaki mempersiapkan pengamanan seperti kacamata dan
masker. Akupun sengaja membawa trekking pole (tongkat yang didesain khusus
untuk mendaki) untuk berjaga-jaga siapa tahu aku membutuhkannya nanti. Kami
lanjutkan perjalanan yang sangat sulit ini, tiba-tiba “tolong!!!!!!!” teriak
Meti, ternyata ia tergelincir karena tidak terbiasa dengan trek berpasir, untung
aku sudah terbiasa tidak menggunakan trekking
pole jadi tongkat tersebut ku berikan saja kepadanya. Sekitar 3-4 jam lamanya kami sampai
di pucak Mahameru, “wow sunrise nya keren banget” decak kagum pun keluar dari
mulutku dan para pendaki lain. Sungguh pengalaman yang sangat menakjubkan dimana
aku dan Meti bersusah payah selama beberapa hari untuk menuju puncak ini, dan
ternyata ku menemukan suatu keindahan yang sangat luar biasa memang ciptaan Tuhan
tiada duanya. Kami pun menikmati sunrise
dengan sesekali hunting bareng
teman-teman. Tak terasa hari pun semakin pagi, pandangan ku tertuju pada sebuah
bayangan di balik tebing “siapa disana?” tanyaku pada sesosok jubah hitam, “lagi-lagi
dirinya siapa sih sebenarnya dia itu?” tanya Meti pada ku. Akupun bergegas
mengejarnya dan betapa terkejutnya aku, saat melihat seorang lelaki tampan
berada di balik tebing membawa setangkai Edelweis mendekat kepadaku. “Ambilah”
pintanya, aku masih linglung dibuatnya sungguh belum pernah sebelumnya ku lihat
lelaki setampan ini di SMA ataupun daerah ku, sembari ku ambil bunga itu dari
genggamannya ia berpesan bahwa ku harus menjaga bunga itu dan percayalah bahwa
ia akan menjemputku di kemudian hari. Perlahan bayangan nya pun hilang dari
hadapanku. “Kemana dia?” gumamku sambil ku awasi daerah sekitar. “Dia siapa?” tanya
Meti heran, karena menurutnya tiada seorang pun yang ia lihat didekatku sedari
tadi. Kamipun kembali kerombongan dan yang ada di dalam fikiranku sedari tadi
hanya lelaki tampan yang berpostur tubuh tinggi, putih dan gagah tentunya, aku
tak tahu dari mana asalnya dan siapa gerangan namanya yang ku tahu bahwa dia
adalah orang yang membuntutiku selama ini ya, jubah hitam acapkali ku
memanggilnya.
Tak terasa hari pun
semakin siang kami tak berniat untuk menunggu hingga mentari hendak pulang
keperaduannya namun karena cuaca saat ini kurang mendukung Meti pun mengajak Ku
untuk segera turun dan kembali kerumah. Setibanya di rumah Ku ceritakan semua
pengalamanku kepada ayah dan ibu, mereka pun hanya memberikan senyuman terlebih dimana saat Ku ceritakan Aku bertemu
sesosok lelaki misterius yang selama ini mengikuti ku dan ternyata itu adalah
lelaki tampan yang memberiku bunga Edelweis mereka tak habis-habisnya mengolok
ku. Tetapi biarpun begitu aku akan selalu menjaga bunga pemberiannya dan aku tetap
yakin bahwa lelaki tampan itu akan menjemputku. Seperti yang ia janjikan sebelumnya,
aku akan terus menunggu sampai kapanpun.
Komentar
Posting Komentar