Ada pepatah lama yang mengatakan tak kenal maka tak sayang. Sialnya aku lebih dulu "sayang" sebelum mengenalmu. Bagaimana mungkin? Mungkin saja, kita bisa saja jatuh hati meski belum pernah bertemu. Lalu bagaimana? Daring, menjadi salah satu jalan yang memiliki peluang itu. "Jatuh cintanya daring, patah hatinya luring" ini adalah kalimat ter-pahit yang pernah aku alami sebelumnya. Aku pernah... Mengharapkan temu yang tak kunjung kau jamu, mengharapkan rindu yang tak kunjung kau redam, mengharapkan janji yang tak pernah terbukti. Ya, benar. Daring mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Bahkan dulu... Aku begitu mengharapkanmu. Menunggu kabar yang tak kunjung ku dapat. Padahal kau hanya membalas pesan ketika sempat. "Aku ini kau anggap apa?" Pertanyaan bodoh yang sudah kuketahui jawabannya. Aku memilih menjauhimu lebih dulu, meski tanpa kau jelaskan berulang kali, aku sudah begitu paham. Bahwa kau memintaku untuk menjauh. Kini, mendengar namamu tak...
Penantian tak Berujung
Karya: Fifi Nurhafifah
Kini hanya aku yang masih merasakan
kehadiranmu,
mereka melupakan begitu saja
setelah kau pergi.
Tapi aku yakin kita akan bertemu
lagi entah dimana dan kapan waktunya.
Rintik hujan perlahan
mengguyur tubuhku menyisakan kepahitan yang teramat dalam, kau yang seharusnya
duduk disampingku kini telah menghilang dan tak akan pernah kembali. “Cia ayo
kita pulang nak!” panggilan itu yang terus berulang, yang dapat kupastikan itu
adalah suara ibu. Aku hanya dapat terpaku melihat gundukan tanah didepanku. Aku
masih tak percaya Bagus meninggalkan ku secepat ini. Nisan yang bertuliskan
namanya pun hanya dapat ku peluk dengan erat, berusaha ku keluarkan semua
perasaanku yang teramat dalam padanya. Dengan tersedu-sedu aku masih sempat menaburkan
bunga diatas pusaranya. “nak ayo pulang nanti kamu sakit, sudahlah ikhlas kan
saja Bagus ia pasti akan ikut sedih melihat kamu seperti ini cia” kata ibu
menenangkan. Bagaimana mungkin aku bisa terima begitu saja, orang yang berada
dalam tanah itu adalah calon suami ku, sulit dipercaya dia meninggal setelah ia
melamarku. Masih terngiang ditelingaku, kala itu ia memintaku untuk menjadi
istrinya, tanpa ragu ku anggukkan kepala sebagai isyarat persetujuan. Siapa
yang bisa mengelak bahwa Bagus adalah sosok idaman, berpostur tubuh tinggi,
hidung mancung, alis yang tebal, serta memiliki wibawa yang begitu mempesona.
Kecelakaanlah yang membuatnya meninggal, pulang yang terlalu larut dan
mengantuk membuat mobil yang dikendarainya terperosok kedalam jurang. Sedih
memang ketika harus menerima kenyataan pahit ini. Namun, dengan berat hati aku
menuruti pinta ibu karena memang hari sudah semakin larut. Malam ini aku semakin
merasa kehilangan, handphone yang
biasanya memberikan notif chat dari Bagus kini hanya berisi pesan duka cita
dari beberapa kerabat, ditambah cuaca malam ini yang dinginnya hingga menusuk
tulang diiringi derasnya hujan yang seolah-olah bergantian membentuk sebuah
irama kerinduan. “Bagus aku sangat merindukanmu”. Tok.tokk..tokk.
suara ketukan pintu yang kian mengeras mengusik tidurku. Panggilan berulang
dari ibu bagaikan sebuah alarm yang memaksaku untuk segera membukakannya. “Ada
apa?” tanyaku pada ibu. “kamu sarapan dulu ya sayang ibu udah masakin nasi goreng
kesukaanmu” pinta ibu dengan lembut. “cia nggak laper bu” jawabku singkat.
Tanpa dipungkiri perut yang tidak kompromi terlebih dahulu malah berbunyi
mengisyaratkan untuk segera diisi. “sudah lah jangan bohong ayo makan” goda ibu
padaku. Bagaimana aku tidak lapar, dari kemarin siang aku tidak sempat makan
karena menangis yang tidak berjeda, bahkan untuk sekadar minum saja aku lupa.
“oke bu, aku mau cuci muka dulu” jawabku singkat. Dengan keadaan kantung mata
yang begitu besar dan menghitam ku langkahkan kakiku ke ruang makan. “cia ayah
udah nunggu kamu dari tadi sayang” sapa ayah padaku. Dengan wajah yang mungkin
masih sangat muram ku paksakan untuk tersenyum kepada ayah. Akupun duduk sambil
membayangkan bahwa Bagus akan datang berkunjung
untuk membahas tanggal pernikahan bersama ayah, namun lamunanku tak
kulanjutkan, aku sudah sangat lapar tanpa pikir panjang ku makan dengan lahap
nasi goreng buatan ibu hingga hanya menyisakan piring kotor dan sendok
diatasnya. “ayah ibu aku masuk ya, mau mandi” kataku pada mereka yang masih
duduk di meja makan. “iya cia, jangan terlalu dipikirkan ya nak. Ayah sedih liat
kamu terus-terusan menangisi Bagus” kata ayah dengan nada khawatir. Aku
mengangguk dan bergegas meninggalkan meja makan. Perkataan ayah tadi benar aku
tidak boleh terlalu bersedih. Kasihan ayah dan ibu yang sangat mengkhawatirkanku.
Secara, aku adalah anak tunggal mereka. Akupun menyeka air mata yang tanpa
kusadari masih mengalir tatkala nama Bagus terdengar. Segera ku ambil handuk
dan menyegerakan untuk mandi.
***
Satu
tahun telah berlalu, namun aku masih saja menyempatkan setiap libur kerja ku berziarah
ke pemakaman dimana tempat persinggahan terakhir calon suamiku. Waktu ini
kurasa tepat karena membutuhkan waktu sekitar 30 menit untuk dapat sampai
kesini dan karena jadwal kerjaku yang padat juga yang membuatku mengagendakan
akhir pecan atau saat libur untuk berkunjung. Tak lupa beberapa doa kupanjatkan
untuk Bagus agar ia tahu bahwa aku masih belum bisa melupakannya.”Bagus aku
Kangen banget sama kamu, kangen suara kamu, kangen senyum kamu, kangen semua
kenangan kita” mungkin kalimat ini sudah berkian kali ku utarakan. Namun, tak
akan mungkin Bagus menjawab. Selepas berziarah ku putuskan untuk megunjungi
kediaman orang tua Bagus. Kuingat kali terakhir aku berkunjung adalah saat
pemakamannya. Setelah itu aku sudah jarang sekali berkomunikasi, karena aku sadar
aku tak akan kuat menahan tangis jika harus menyambangi rumah mendiang Bagus.
“assalamualaikum ibu” sapaku pada
seorang ibu paruh baya yang sedang menyiram bunga dipekarangan rumah Bagus.
“waalaikumsalam, eh nak Stacia
apa kabar?” Tanya ibu Bagus sambil memelukku selayaknya orang tua yang sudah sangat
lama merindukan anaknya.
“Cia baik bu, ibu apa kabar?”
tanyaku sambil menghapus air mata yang mulai mengalir.
“ibu baik Cia, kenapa kamu baru
berkunjung. Ibu sangat merindukanmu nak” Tanya ibu sambil melepaskan pelukannya.
“maaf bu, Cia sibuk akhir-akhir
ini jadi baru sempat mampir” jawabku dengan nada bersalah.
“Mari masuk nak, ibu ada sesuatu
buat kamu” paksa ibu sembari menarik tanganku.
Akupun menuruti pinta ibu Warsih,
ya itu adalah namanya. Saat ku memasuki ruang tamunya, tiba-tiba hatiku terasa
sesak melihat foto Bagus yang terpajang seolah-olah sedang tersenyum menyambut kedatanganku. Aku hanya
bisa tertegun sambil meraih satu frame foto dan kupeluk dengan sangat erat
layaknya orang yang tak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Lidahku kelu,
kakikupun seakan-akan tak kuat untuk menopang badanku dan akupun hanya bisa tertunduk
sambil menangis. Jujur semenjak kepergian Bagus ibu dan ayah sudah sepakat
untuk tidak mengizinkankku memajang foto ataupun menggunakan barang dari Bagus,
tujuannya baik. Agar aku segera melupakannya. Tapi usaha itu sia-sia bahkan
detik ini juga aku masih sangat mencintai bahkan tidak akan bisa melupakan
Bagus, karena wajah dan semua kenangannya selalu kusimpan rapi di memori
otakku. Tanpa kusadari ibu Warsih sudah berdiri dihadapanku dengan membawa
sebuah kotak. “ini dari Bagus nak, sebenarnya dia ingin memberikan ini sebagai
mahar namun takdir berkata lain. Mungkin Bagus memang hanya ditakdirkan
melamarmu, bukan menjadi suamimu” jelas ibu Warsih. Kuletakkan foto yang masih
ku peluk tadi sembari mengambil kotak yang diberikan ibu Warsih. Kubuka secara
perlahan sambil sesekali membersihkan debu yang masih menempel di sekitar kotak
tersebut. Kudapati sebuah kalung emas berliontin namaku “Stacia”.
“itu Bagus beli dari tabungannya nak, dulu
sekali waktu kalian masih kuliah” kata ibu warsih.
Mataku terbelalak seolah tak
menyangka bahwa kekasihku membelikan ini dari uang tabungan saat ia masih
kuliah, seingatku itu sudah 5 tahun yang lalu dan memang saat kami masih kuliah
Bagus sudah sangat rajin mengumpulkan uang mulai dari bekerja sebagai pelayan
restoran maupun sebagai penjaga mesin fotocopy. Akupun memeluk ibu Warsih
sembari menangis sambil tersedu-sedu.
“Ibu terimakasih sudah melahirkan
anak yang sangat luar biasa, mungkin Bagus sedang melihat kita sambil tertawa
bahagia” kataku lirih.
“sudah nak, bawalah kalung ini.
Pulanglah, sampaikan salam ibu kepada kedua orang tuamu ya” kata ibu warsih
yang ternyata ikut meneteskan air mata. Bagaimana ia tidak merasa kesepian, ia
adalah seorang janda yang ditinggal suaminya, sejak Bagus berumur 3 tahun. Berdasarkan
berita yang ku tahu ia masih memiliki anak, tetapi dibawa oleh mantan suaminya
itu, yang hingga kini belum diketahui dimana keberadaannya.
Sesampainya dirumah, “Ibu…Assalamualaikum…”
sembari ku ketuk-ketuk pintu secara perlahan.
“waalaikumsalam, iya sebentar”
jawab ibuku dari dalam.
Tak butuh waktu yang lama Krek….. pintupun
terbuka. “dari mana cia?” Tanya ibu khawatir.
“maaf ibu tadi Cia lupa ngabarin,
Cia dari rumah Bagus” kataku kepada ibu.
Tanpa pikir panjang ibu memintaku
untuk masuk karena sebentar lagi magrib akan tiba.
Aku adalah wanita beruntung, dapat memiliki
kedua orang tua yang sangat menyayangiku, memiliki Bagus dan ibu Warsih. Aku
bukan orang yang agamis, bahkan kewajiban sebagai seorang muslim belum aku
tunaikan. Seperti sholat, mengaji, bahkan menggunakan jilbab saja tidak. Namun
kali ini, tiba-tiba sajak hatiku
terketuk untuk menunaikan sholat. Entah mengapa azan yang berkumandang denga
merdunya petang ini, membuat hatiku bergetar tidak seperti biasanya. Akupun
meniatkan untuk mengambil air wudhu meskipun sedikit keraguan sempat terlintas“masihkah
ku ingat gerakan sholat?” ah sudahlah kulupakan pertanyaan yang timbul
dibenakku yang terpenting adalah wudhu dan mencoba mengingat. kurasakan
kesejukan pada bagian wajahku yang mungkin sudah lama tak tersentuh air wudhu,
kurasakan tanganku, telingaku dan kakiku merasakan air yang ku basuhkan secara
perlahan. Ku ambil sajadah dan kubentangkan menghadap kiblat. Kumulai dengan
takbir pertama dan mengurutkannya hingga rakaat ke tiga. Saat sujud terakhir
tanpa kusadari air mataku mengalir deras bahkan sangat deras melibihi aku
menangisi kepergian Bagus tahun lalu. Seusai sholat ku panjatkan permohonan
ampun kepada Allah, bahwasannya aku lalai, bahkan sangat terlena akan dunia,
aku sudah salah mencintai manusia teramat dalam. Aku sudah salah larut dalam
kesedihan yang berkepanjangan, dan aku sudah bersalah tidak melakukan
kewajibannku. Ku lepaskan cincin sepeninggal Bagus yang masih melingkar di jari
ku, ku ambil kotak kalung dari Bagus dan ku masukkan kedalammnya.
Cukup Cia kamu harus berubah! Sudah
terlalu lama hatimu sakit. Terimakasih Bagus untuk satu tahun tanpamu yang
begitu berat , terimakasih sudah mengajariku arti kehilangan, kepedihan , sebuah
penantian dan harapan tak berujung. Aku sadar bahwa kita tidak boleh mencintai
manusia melebihi cinta kita kepada Allah. Semoga aku masih dapat berubah untuk
lebih mencintai Tuhanku, dan semoga kita masih dapat bertemu meski akupun tak
tahu dimana dan kapan. Mungkin nanti di surga.
Komentar
Posting Komentar