Langsung ke konten utama

Dulu, aku begitu mengharapkanmu.

Ada pepatah lama yang mengatakan tak kenal maka tak sayang. Sialnya aku lebih dulu "sayang" sebelum mengenalmu. Bagaimana mungkin? Mungkin saja, kita bisa saja jatuh hati meski belum pernah bertemu. Lalu bagaimana? Daring, menjadi salah satu jalan yang memiliki peluang itu. "Jatuh cintanya daring, patah hatinya luring" ini adalah kalimat ter-pahit yang pernah aku alami sebelumnya. Aku pernah... Mengharapkan temu yang tak kunjung kau jamu, mengharapkan rindu yang tak kunjung kau redam, mengharapkan janji yang tak pernah terbukti. Ya, benar. Daring mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Bahkan dulu... Aku begitu mengharapkanmu. Menunggu kabar yang tak kunjung ku dapat. Padahal kau hanya membalas pesan ketika sempat. "Aku ini kau anggap apa?" Pertanyaan bodoh yang sudah kuketahui jawabannya. Aku memilih menjauhimu lebih dulu, meski tanpa kau jelaskan berulang kali, aku sudah begitu paham. Bahwa kau memintaku untuk menjauh. Kini, mendengar namamu tak

Pengabdian Untuk Pulau Ku yang Malang

Gemericik air perlahan mengikuti arus dengan tenangnya, selalu berusaha mencari celah bebatuan yang menghalangi agar dapat terus mengalir. Aku suka filosofi air, ia sangat tegar meskipun bebatuan besar menghalang. Jika saja ia akan terhenti di sebuah kubangan, lambat laun akan tetap mengalir(lagi). Dengan cara, berhenti sejenak lalu mengumpulkan air lainnya agar dapat melewati kubangan. Aku yang sedari tadi hanya duduk termangu menatap kubangan air berwarna cokelat di depanku. Perkenalkan namaku Sonia Aku berasal dari sebuah desa di ujung barat Pulau Bangka. Apakah kau mengenal pulau ini? Bukan, pulau ini tidak lagi menjadi bagian dari Pulau Sumatera yang kalian tahu. Antara Pulau Bangka dan Sumatera dipisahkan oleh Selat Bangka. Sedangkan antara Pulau Bangka dan Belitung di pisahkan oleh Selat Gaspar. Kepulauan Bangka Belitung memisahkan diri dari Provinsi Sumatera Selatan pada tanggal 21 November 2000. Tergolong muda memang, namun pulau ini sudah memiliki banyak prestasi. Salah satunya menjadi penghasil timah terbesar ke-2 di dunia setelah China.
Sesekali ku usap keringatku yang perlahan menetes karena teriknya matahari siang. Mungkin, kebanyakan orang yang berkunjung ke pulau ini akan berpikir bahwa Bangka sangat panas.
“Nia, ayo kita pulang” ajak Ibu yang sedari tadi melihatku sedang duduk termangu. Tanpa pikir panjang Ku langkahkan kakiku menjauhi kubangan air itu, kemudian bergegas ke arah jalan pulang.
“Dapat berapa kilo Bu?” tanyaku penasaran.
 “Entahlah, belum di timbang” ujar Ibu ragu. Aku pun hanya mengangguk sembari membantu membawa tempat yang berisi butiran timah berwarna hitam itu. Perjalanan kami cukup jauh, Aku yang harus melewati hutan kecil dan jalan menanjak serta berkelok untuk sampai ke lokasi ini. Tambang Inkonvensional atau biasa di kenal dengan istilah TI adalah salah satu mata pencaharian sebagian besar masyarakat Bangka Belitung. Wajar, jika hal ini menjadikannya penyumbang timah terbesar ke-2 di dunia. Aku bersama ibu tidak serta merta langsung menuju rumah, terlebih dahulu kami mampir ke pengepul untuk menjual hasil perolehan hari ini. Setelah pengepul memasukkan timah tersebut ke dalam kaleng bekas susu dan kemudian di timbang untuk menentukan Sn(lambang kimia dari Timah) atau bahasa setempat lebih dikenal dengan kadar timah. Semakin berat kadar timah dalam sekaleng susu maka akan semakin mahal pula harga yang di bayarkan.
“Berapa Pak, Sn nya?” tanya Ibuku memastikan.
“Oh, 1,4 Bu” jawab pengepul tanpa ragu. 1,4 yang di maksud adalah, bahwa dalam sekaleng susu timah jika di timbang memiliki berat 1.4 kg, yang artinya kualitas timah cukup baik. Harga timah mentah yang masih berwarna hitam seperti pasir dengan Sn 1.4 kg di hargai Rp140.000;00 untuk setiap kilogramnya. Berbeda jika Sn nya lebih rendah maka harga yang di tawarkan juga bervariasi.
“Nia, ayo ambil tempat timah tadi, dan kita pulang” ajak Ibu setelah menerima uang hasil nailing . Kegiatan rutin setelah sepulang sekolah memang selalu begitu. Menjemput ibu ke daerah tambang dan mengantarkannya menjual hasil nailing. Kegiatan ini tidak selalu menjanjikan kadang, jika sedang beruntung ibu dapat memperoleh 2 kg dalam sehari. Beda halnya dengan bapak, Ia berprofesi sebagai nelayan.
Hari menunjukkan pukul 18.30 setelah menunaikan kewajiban ibadah salat magrib Aku dan keluargaku selalu menyempatkan makan malam bersama. Sebelum bapak pergi melaut, dan sebelum ibu menyuruhku untuk belajar karena sebentar lagi kelulusan.
“Pak, sebentar lagi musim ikan Tamban. Pukat yang rusak segera perbaiki, daripada harus beli baru” kata Ibu sembari menaruh nasi ke piring Bapak.
“Iya Bu, kemarin sudah sebagian yang Bapak perbaiki” jawab Bapak.
“Alhamdulillah ya Pak, sebentar lagi musim Tamban. Nanti Nia bantu deh nyabut ikannya, tapi di upah ya” kataku terkekeh geli.
“Iya, Nia” jawab Bapak sekenanya.
Selain hasil bumi di pulau ini melimpah ruah. Hasil laut juga sangat beragam mulai dari udang, kepiting, kerang dan lain sebagainya. Aku yakin bahwa pulau ini sangat kaya dan sangat tepat jika ada lirik lagu “Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jala cukup menghidupimu.”
Saat musim ikan tiba, bisa saja dalam sehari Bapak memperoleh ikan 300 kg banyaknya. Tapi sayang, jika sedang musim harganya menjadi semakin murah. Dari harga yang biasanya berkisar Rp10.000;00 per kilogram, maka bisa saja hanya di hargai Rp3.000;00 per kilogram. Namanya juga nelayan, hasil laut tidak selalu menjanjikan. Begitupun halnya dengan timah.
***
Suara azan sudah berkumandang dengan merdunya. Namun, Aku masih saja terlelap akan mimpi-mimpi indah ku.
“Nia, bangun Nak! Sudah subuh, salat dulu sana” suara ibu terdengar sangat jelas di telingaku. Bagaimana tidak, semua orang tahu bahwa ibu adalah alarm terbaik untuk membangungkan kita tidur.
“iya Bu” ujarku dengan malasnya. Dengan mata sedikit sayu berjalan perlahan ku menuju keran air. Sudah dapat di tebak, air yang mengalir begitu dingin. Meskipun sumur yang di gali tidak terlalu dalam namun air di sini tidak akan kering. Sebuah kewajaran lagi, bahwa tinggal di pesisir menjadi penyebab air dingin dan banyak mata air. Setelah selesai salat subuh, Aku berkewajiban membantu ibu menyiapkan sarapan sembari menunggu bapak pulang dari melaut.
 “Nia, coba kamu liat Bapak udah sampai di tepi belum” pinta Ibu.
“Belum Bu, kan masih surut. Mungkin pukul 07.00 nanti, air pasang” jawabku, setelah melihat dari halaman rumah yang hanya berjarak 100 meter dari bibir pantai.
“Ya sudah, mandi sana! nanti telat ke sekolah” celetuk Ibu saat melihat ku malah memilih duduk di depan tv ketimbang mandi.
 “Yaahh Bu, baru aja mau nonton” rengekku pada Ibu.
 “Nia!” panggil Ibu dengan nada tinggi. Oke tanpa pikir panjang, Aku memilih untuk mandi daripada harus mendengarkan kultum di pagi hari. Setelah sarapan, Aku memilih untuk berpamitan ke sekolah.
“Inget ya! nanti pulang sekolah jemput Ibu di TI” kata Ibu sambil mengulurkan tangannya.
“Siap ndan 86” ledekku. Terkesan manja memang, karena di rumah hanya Aku anak ibu dan bapak. Sebenarnya, Aku memiliki satu orang kakak laki-laki. Tetapi dia lebih memilih tinggal di Lampung dengan nenek. Singkat cerita Aku dan keluargaku adalah perantauan yang mengadu nasib di pulau ini.
“Hati-hati ya Nia” kata Ibu melepas kepergianku. Aku sedang duduk di kelas IX di salah satu sekolah menengah pertama di desa ku. Berbicara mengenai prestasi belajar, Alhamdulillah ajaran ibu setiap malam membuahkan hasil. Ia tidak akan mengizinkanku menonton sebelum belajar terlebih dahulu. Alhasil peringkat pertama selalu Aku raih. Berasal dari keluarga pas-pasan membuat Aku lebih mengerti akan makna hidup. Didikan orangtua ku sangat ketat jika berbicara mengenai pendidikan.
Sepulang sekolah Aku harus menjemput ibu di TI. Kembali lagi bertemu dengan jalan berkelok, dan bertemu dengan kubangan air. Akan Ku perkenalkan nama alat dan tempat untuk menambang timah. Jadi, menambang timah bisa dilakukan di lahan pribadi maupun lahan kosong yang di sinyalir mengandung timah. Dengan cara, pasir yang berada pada tebing-tebing di semprot kemudian disedot menggunakan mesin penyedot air dan selang-selang yang panjang. Sudah dapat di perkirakan bahwa kolong yang dihasilkan dari penambangan ini cukup dalam, tergantung keberadaan timah itu sendiri. Ada yang berkedalaman tujuh hingga delapan meter. Setelah pasir tersebut di sedot dari lubang camoi kemudian pasir tersebut di alirkan menuju sakan setelah pasir-pasir tersebut di cuci seperti halnya mengaduk semen, maka akan menyisakan timah di sakan tersebut.
“Bu, ayo pulang” pintaku pada Ibu yang sedang asyik mencuci timah.
“Sabar Nia, sebentar lagi” jawab Ibu.
“Panas Bu di sini, Nia mau berteduh dulu lah” dengusku kesal. Dengan sedikit berlari kecil ku tuju pohon rindang nun jauh di sana.
 “Hmm… masih aja panas padahal udah di bawah pohon” gumamku.
Tak lama waktu berselang ibu menghampiriku.
“Ayo Nia pulang” ajak Ibu. Tanpa pikir panjang Aku pun mengangguk dan kami bergegas untuk pulang.
***
Hari demi haripun berlalu, ekonomi keluarga kami membaik karena harga timah yang semakin mahal dan hasil laut yang lumayan banyak. Tak terasa Aku akan mengikuti UN beberapa minggu lagi. Untuk itu, Ibu selalu memintaku belajar.
“Nia, kamu di panggil kepala sekolah tu” ujar temanku dengan napas sedikit tersengal-sengal. Aku pun panik, apa salah ku hingga kepala sekolah memanggil. Tanpa bertanya mengapa, Aku pun bergegas menuju ruang kepala sekolah.
“Assalamualaikum Bu, bolehkah saya masuk?” tanya Ku lirih.
“Mari Nia silakan, Ibu sudah menunggumu sedari tadi” kata Ibu seraya tersenyum simpul.
“Kalo boleh tahu kenapa saya di panggil Ibu?” tanyaku dengan sedikit rasa khawatir.
“Jangan takut, Ibu hanya ingin memberikan informasi mengenai beasiswa unggulan dari PT. Timah” jelas ibu singkat.
“Beasiswa apa ya Bu? Lalu… kenapa saya yang di panggil” tanyaku polos.
“Nia, Ibu sudah tahu banyak tentang prestasi mu di kelas, dan Ibu yakin kamu akan mendapatkan beasiswa ini. Sekolah kamu nanti di biayai penuh oleh PT. Timah. Tempat tinggal gratis, uang sekolah gratis, makan di tanggung dan masih banyak lagi keuntungannya. Tugas kamu hanya belajar di sana” jelas beliau panjang lebar.
Aku pun hanya tersenyum, merasa bahwa diri ini tidak pantas. Tapi, Aku pun tidak ingin mengecewakan orang yang telah mempercayaiku. Jika orang lain saja percaya dengan kemampuanku, lantas kenapa Aku harus ragu.
“Baiklah Bu, terima kasih atas informasinya. Nia akan coba mendaftar” jawabku yakin. Akhirnya Aku di arahkan untuk segera ke ruang tata usaha, karena besok adalah hari terakhir pendaftaran. Sepanjang perjalanan menuju ruang tata usaha, hati kecilku masih bertanya-tanya. Mengapa harus Aku? Ah sudahlah mungkin Aku harus mencoba terlebih dahulu pikirku. Aku sudah mendaftar tinggal menunggu hasil seleksi berkas. Hari ini, Aku pulang cukup sore hingga tidak sempat menjemput ibu.
“Nia kok baru pulang?” tanya Ibu penasaran.
“Iya Bu, tadi Nia masih ngurusin berkas buat daftar beasiswa SMA unggulan dari PT Timah” jelasku singkat.
Ibuku hanya mengangguk, bisa Ku pastikan bahwa Ia juga tidak tahu jika ada beasiswa unggulan. Karena hari semakin sore Aku pun memilih untuk mandi. Di ruang makan Ku ceritakan kegiatan di sekolah tadi, mulai dari sebentar lagi UN dan tak lupa mengenai beasiswa itu. Bapak ternyata merespon sangat baik, karena Ia paham bahwa PT. Timah sangat kaya, istilahnya cukuplah untuk menghidupiku kata Bapak sambil bergurau.
Waktu yang di tunggu telah tiba, hari ini Aku melaksanakan Ujian Nasional dan Aku hanya bisa berharap dewi fortuna berpihak kepadaku. Selang beberapa hari setelah UN, namaku kembali dipanggil oleh kepala sekolah.
 “Alhamdulillah Nia, kamu lolos seleksi. Dari seribu lebih orang mendaftar dan di seleksi menjadi tujuh ratus orang, kamu urutan ke-46. Selamat ya Nak!” kata Ibu girang.
Aku pun larut dalam kebahagiaan ini, ternyata SMP tempat Ku mengemban ilmu baru kali pertama mengirim berkas seleksi ke sekolah unggulan itu dan akhirnya lulus. Tapi Aku ragu, karena masih ada beberapa tahap lagi yang harus ku lalui. Setelah melewati euforia ini Aku pun kembali di berikan kejutan oleh Allah, dengan memperoleh peringkat tertinggi nilai UN di sekolah. Lagi-lagi Aku sangat percaya dengan kekuatan doa kedua orangtua ku. Rasanya tidak sia-sia mereka selalu memintaku untuk belajar.
“Selamat sayang Ibu sama Bapak bangga sama kamu” ucap Ibuku lirih. Ternyata air mataku tak terbendung lagi, Aku pun tenggelam dalam pelukan ibu.
“Terima kasih Bu, Pak! Tanpa kalian Nia bukan siapa-siapa” kataku sambil sesekali mengusap air mata yang berlinang. Tangis haru itu ada saat mengambil surat kelulusan kemarin.
***
Menindaklanjuti beasiswa kemarin, Bapak dan Ibu libur bekerja. Ibu memilih untuk membantuku mempersipkan diri dan mental. Sedangkan Bapak, memilih untuk mensurvei tempat dilaksanakannya tes. Lokasinya cukup jauh, jarak tempuh tiga jam dari rumah. Kami bukan orang berada, wajar jika bapak menyusuri jalanan itu dengan sepeda motor. Sudah sering Aku menitikan air mata, karena melihat perjuangan orangtua Ku. Pelajaran yang dapat di ambil adalah, Aku harus lulus agar perjuangan kedua orangtua tidak sia-sia.
“Nia, Bapak kemarin kan sudah survei. Ternyata tempatnya jauh Nak!. Jadi kemungkinan kita harus menginap” kata Bapak dengan intonasi yang merendah di akhir. Aku paham, maksud Bapak adalah kami tidak memiliki kenalan satu orangpun di sana.
“Lalu dimana kami akan tinggal?” gumamku dalam hati.
Suasana di meja makan kala itu hening, hanya terdengar suara sendok yang sesekali berdenting.
“Coba kamu cari teman dari sekolah lain Nia, siapa tahu bisa bareng” suara Ibu memecah keheningan.
“Iya Bu, Nia coba” jawabku singkat. Seusai makan ku ambil gawai kemudian daring. Kenapa Aku dari tadi tidak mencari teman melalui facebook. Ku ambil koran pengumuman dan segera mencarinya di facebook. Tak lama kemudian, Aku pun memperoleh balasan dari Lina teman baru Ku.
“Hai Nia, iya Aku juga lulus seleksi berkas di SMA unggulan. Besok Aku berangkat, mau bareng?” tertulis demikian di pesan masukku.
Hatiku bergetar, merasakan kuasa Allah yang selalu mempermudah jalanku. Setelah kami bertukar informasi ternyata jarak rumah kami cukup dekat. Hanya butuh waktu dua puluh menit saja untuk kami bersua.
“Bu, Aku udah dapat tebengan” teriakku girang.
“Alhamdulillah Nia. Ya sudah, sekarang Nia tidur ya” pinta Ibu padaku.
Kupejamkan mata yang masih terbelalak pada pukul satu dini hari.
“Kok gak bisa tidur sih” dengusku kesal. Sembari membolak-balikkan badan, ku hitung domba untuk pengantar tidurku hingga Aku terlelap.
“Bangun Nia, sudah pagi” teriak Ibu dari dapur. Seperti biasanya, salat dan mandi adalah rutinitas wajib di pagi hari. Setelah semuanya selesai Ibu memintaku untuk segera sarapan karena Ayah sudah siap sedari tadi untuk mengantarku.
“Nanti kamu hati-hati di tempat orang, jangan nakal” nasihat beliau persis seperti sedang mengatakannya kepada anak kecil. Karena memang, sampai kapanpun seorang Ibu akan selalu memperlakukan anaknya seperti masih kecil.
Aku hanya sesekali mengangguk karena harus menghabiskan makanan dan minuman di hadapanku.
“Ayo Nia, nanti telat” kata Bapak.
“Iya pak, udah kok!” teriakku dari dalam rumah.
Seusai berpamitan, Aku pun tak lupa meminta doa kepada Ibu demi kelancaran urusanku. Sepanjang perjalanan Bapak hanya terdiam, begitupun diriku. Tak lama waktu berselang, di rumah Lina teman baruku, Aku memilih untuk berkenalan ulang dengannya dan kedua orangtuanya yang akan ikut mengantar. Bapak mengucapkan banyak terima kasih kepada keluarga mereka karena telah bersedia menumpangiku.
“Pak, Nia pamit ya. Jangan lupa doain Nia” ujarku.
“Iya Nak pasti, jangan lupa salatnya.” Kata bapak.
“Pasti ndan siap” kataku terkekeh geli.
Rombongan kami sudah keluar dari pekarangan, dan Aku hanya sesekali mengobrol dengan Lina. Maklum masih canggung. Ternyata setelah tiga jam lamanya kami sampai di tempat penginapan, Lina memintaku untuk beristirahat. Waktupun hanya berjalan begitu saja.
Tibalah waktu pagi, Aku sudah siap untuk tes, begitupun Lina.
“Nia, kamu nomor urut berapa?” tanya Lina memastikan.
“Nomor 46 Lin” jawabku.
“Berarti kamu ke depan sana, Aku no urut 124 soalnya” ujarnya.
Kami pun berpisah karena sebentar lagi waktu tes tiba. Hari ini ada dua jenis tes yang harus kami lalui. Mulai dari tes potensi akademik, dan wawancara. Semuanya berjalan lancar. Pada pukul 16.00 kami sudah dalam perjalanan pulang.
“Gimana Lina? Bisa jawab” tanya Ibu Lina.
“Bisa lah Bu, soalnya mudah kok” tutur Lina.
“Kalo kamu Nia, bisa?” tanya Ibunya lembut.
“Entahlah Tante, susah soalnya” kataku lirih….
“Jangan putus asa, yang penting Nia udah coba” tambah beliau.
Tersenyum simpul adalah pilihanku untuk menanggapi Ibu Lina. Sepanjang perjalanan, Aku masih saja memikirkan tes tadi, mulai dari tes potensi akademik yang kertasnya lebar melebihi koran, menggambar pohon dan masih banyak lagi.
“Bu, Pak. Aku takut mengecewakanmu” gumamku dalam hati. Kami memutuskan untuk kembali ke rumah, dan Aku di antarkan hingga ke depan rumah oleh keluarga Lina. Yang ku tahu, keluarga Lina sangat baik.
“Assalamualaikum, Nia pulang” ucapku sambil mengetuk pintu. Setelah pintu terbuka…
“Waalaikumsalam Nia, loh kok udah di anterin ke rumah? Lina gak mampir Nia?” tanya ibu seraya menyodorkan tangannya untuk bersalaman.
“Lina langsung pulang Bu, capek katanya” jelasku.
“Ya sudah, Nia langsung mandi ya. Biar tas Nia, Ibu yang membawa ke dalam” pinta Ibu.
“Iya Bu, terima kasih” kataku menutup pembicaraan.
Aku sangat lelah, isi otakku sudah terkuras habis karena tes tadi. Perjalanan tiga jam juga menambah lelah badanku. Untung saja tadi sempat mampir ke asrama calon tempat tinggalku di sana. Harapanku Aku dapat benar-benar tinggal di sana. Ibu dan bapak sama sekali tidak membahas tentang tes tadi, mereka paham jika anaknya sedang lelah.
“Nia, bangun Nak!” suara ibu terdengar jelas.
Aku sangat hafal suara Ibu, ia akan memintaku bangun untuk salat dan mandi kemudian membantunya di dapur.
“Gimana tes kemarin, Nia?” tanya Ibu membuka percakapan.
“Lancar Bu, Alhamdulillah. Kita tunggu saja hasilnya dua minggu lagi” jelasku. Ibu hanya tersenyum menatapku.
“Yang penting yakin” tambahnya.
Hari liburku sama seperti biasanya, Ibu pergi ke tambang dan Ayah pergi melaut. Sedangkan Aku hanya bertugas menunggu rumah. Begitu seterusnya, hingga tiba hari dimana pengumuman itu ada di koran.
“Nia…ada tidak namamu?” tanya Bapak penasaran.
Aku yang masih saja menaikkan dan menurunkan bola mataku untuk melihat daftar nama yang tertera di koran. Kejadian ini sangat pagi sekali, Bapak yang sudah tidak sabar untuk melihat pengumuman tersebut bergegas membeli koran di pasar tadi pagi.
“Sebentar Pak…wahhh! Alhamdulillah nama Nia ada Pak! nomor urut 54” teriakku kegirangan.
“Alhamdulillah Nia, Allah sangat baik” ucap Ibu yang dari tadi juga menunggu jawaban.
Setelah Ku baca lagi, ternyata masih ada satu tahapan tes yang harus di lalui. Tes kesehatan adalah tahapan terakhir tes ini. Karena Bapak dan Ibu yakin Aku sehat mereka mengatakan
“Kamu pasti bisa Nia!” ucap mereka kompak.
***
Semuanya sudah selesai, berbagai tes sudah ku jalani. Karena kebaikan Allah pula, Aku di terima di sekolah unggulan SMA N 1 Pemali. letaknya di Kabupaten Bangka. Tiga jam lamanya dari kediamanku di Mentok, Bangka Barat. Beasiswa ini di gagas oleh PT. Timah, fasilitas yang di dapatkan adalah tempat tinggal, gratis spp, kesehatan, peralatan sekolah dan makan tiga kali sehari. Aku adalah salah satu orang beruntung dari 64 putra putri terbaik di Kepulauan Bangka Belitung. Satu hal yang Ku lupa, Lina belum diberikan rezeki untuk sama-sama mengemban ilmu di sini.
Hari demi hari telah berlalu, ternyata sudah dua tahun Aku berada di tempat ini. Ada banyak hal yang terjadi. Mulai dari harga timah yang di kabarkan turun drastis, isu maraknya pertambangan liar yang menjual timah ke negara lain melalui jalur laut, isu kami akan segera di pulangkan karena PT. Timah sudah tidak memiliki biaya, dan masih banyak isu lainnya. Bagaimana tidak, banyak sekali biaya yang harus di keluarkan oleh PT. Timah. Contoh kecil saja spp yang harus di bayarkan perbulan untuk 192 anak dari kelas X, XI dan XII sebesar Rp.300.000; per anak. Belum lagi biaya makan yang membengkak.
“Nia, kamu percaya kita akan di pulangkan?” tanya Cindy teman sekamarku yang memperhatikan Aku melamun dari tadi.
“Enggak, PT. Timah bisa mengatasinya” jawabku yakin.
“Kamu tahu kan timah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat di perbaharui?” tanya Cindy lagi.
“Iya Cin, Aku tahu. Meskipun ibu hanya seorang penailing tapi ibuku juga memiliki peran, seharusnya” jawabku melantur.
“Peran apa, Nia?” tanya Cindy penasaran.
“Entahlah, semakin kesini Aku semakin yakin bahwa tindakan pertambangan ilegal itu sangat merusak lingkungan Cin. Kamu tahu kan? setiap orang membuka lahan untuk pertambangan baru, pasti banyak pohon yang di tebang…” ucapku sambil memposisikan duduk tepat di hadapan Cindy. Karena Aku yakin obrolan ini serius.
“Iya Nia, parahnya lagi setelah penambangan itu usai, tidak ada upaya reboisasi yang dilakukan oleh para penambang. Akibat yang di hasilkan adalah, kolong-kolong yang terbentuk semakin bertambah. Mending kalo musim kemarau, kolong itu dapat digunakan masyarakat untuk mencukupi kebutuhan air mereka. Nah, kalau musim hujan? pasti ada saja banjir yang terjadi akibat luapan air dari kolong tersebut” jelas Cindy panjang lebar. Aku mengerti, sebab desaku pernah merasakan dampak dari musim hujan yang di jelaskannya tadi. Sejak tahun 2012 ada saja banjir yang terjadi di pulau Bangka, faktor air kolong meluap menjadi penyebab utama banjir meskipun terdapat  faktor lainnya yakni sampah. Perasaanku semakin gundah, ibuku yang berprofesi sebagai penailing seharusnya juga turut andil dalam menjaga lingkungan sekitar pertambangan. Belum lagi rusaknya ekosistem laut juga menjadi penyebab bapak beralih profesi menjadi kuli bangunan. Timah tidak hanya berada di daratan saja, di laut bahkan banyak sekali pertambangan yang di dikenal dengan TI apung. Sudah banyak demonstrasi yang dilakukan masyarakat desaku untuk menuntut pemerintah memberhentikan aktivitas pertambangan di laut, karena dampaknya yang sangat buruk. Seperti rusaknya terumbu karang yang menjadi rumah ikan-ikan kecil dan pencemaran air akibat limbah minyak yang dihasilkan. Obrolan kami usai setelah Cindy memutuskan untuk tidur karena malam semakin larut. Berbeda halnya dengan Aku yang tidak bisa tidur sedari tadi.
“Nia belum tidur?” Tanya Rahma sedikit berbisik.
“Belum Ma, masih mikirin pulau kita” jawabku singkat.
“Kenapa? Cerita saja Nia” lanjut Rahma lagi.
Kuputuskan untuk cerita dengan Rahma, karena dia adalah salah satu anak dari karyawan PT. Timah.
“Kamu tahu keadaan pulau kita Ma?” tanyaku penasaran.
“Iya tahu. Miris ya” tambahnya.
“Iya, kalo di liat dari atas. Pulau kita udah bolong-bolong Ma” kataku sedikit tertawa.
“Benar, apalagi pernyataan yang mengatakan pulau kita aman gempa ternyata sudah di cabut. Buktinya akhir-akhir ini di Bangka Barat juga ada gempa kan? dikarenakan lempeng lokal yang berubah menjadi aktif” ujarnya memastikan.
“Iya, sekarang bencana ada di mana-mana ya Ma. Kalau pun pulau kita sudah tidak aman lagi dari gempa, ada satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa pulau kita akan tenggelam jika jumlah kolong yang ada terus bertambah” tambahku lagi.
“Huss… jangan bilang gitu. Meskipun banyak tangan-tangan manusia yang merusak. Pastikan kita bukan salah satu diantaranya” katanya sembari menepuk bahuku.
Lagi-lagi Aku paham, ada saja ilmu yang ku peroleh malam ini. Jika kita tidak bisa menjaga setidaknya jangan merusak. Lebih baik lagi jika kita pandai menjaga dan tidak merusak.
“Tidurlah Nia, besok kita kurve makan” kata Rahma sembari berlalu meninggalkanku. Akhirnya Aku dapat tidur dengan nyenyak.
***
Hari-hari berat sudah terlewati, mulai dari ujian nasional dan ujian hidup lainnya. Tibalah saat yang berbahagia. Hari ini adalah hari bersejarah di hidupku, Aku dapat lulus dari SMA unggulan dan alhamdulillahnya mendapat jalur undangan untuk masuk perguruan tinggi. Perasaan haru dan bangga diutarakan oleh kedua orangtua ku.
“Selamat Nia, tidak sia-sia kamu masuk sekolah ini” kata Bapak.
“Iya Pak, Bu! Terima kasih atas semuanya” kamipun saling berpelukan merasakan kebahagiaan bersama.
Tekadku setelah lulus ini adalah, mencari ilmu sebanyak-banyaknya di luar. Kemudian kembali mengabdi di desa tempat tinggalku.
Berita terbaru yang ku terima setelah kelulusan adalah, PT. Timah kembali stabil keuangannya, dan akan meneruskan program beasiswa ini. Selain itu harga timah kembali stabil dan ayahku pun kembali melaut. Hal ini dapat terjadi, tak lain dan tak bukan karena kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menjaga lingkunga sekitar sudah mulai timbul. Kulihat sudah banyak orang-orang menanam bakau di sekitar tempat tinggalku. Penambangan timah ilegal juga sudah semakin sedikit jumlahnya. Malah ada sebagian kolong timah beralih fungsi menjadi tempat wisata karena keindangan warna airnya yang biru. Ada juga petani bawang merah yang mulai memanfaatkan lahan bekas tambang. Masyarakat sekitar juga sudah mulai merintis usaha sampingan seperti bertani dan berternak. Salah satu hasil pertanian adalah sahang(lada putih), yang kemudian menjadi primadona dan komoditas ekspor yang menjanjikan. Serta yang lebih membanggakan adalah, beberapa negara seperti Vietnam dan Belanda sudah mengakui bahwa kualitas lada Bangka merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Itu semua adalah contoh kecil perubahan yang kini terjadi di pulauku yang dahulunya malang. Lautnya yang pernah menjadi tempat penambangan juga, kini menghasilkan hasil laut yang melimpah, berbekal ilmu dari nenek moyang dahulu, masyarakat memanfaatkan hasil laut seperti udang rebon yang di olah menjadi belacan yang juga tidak kalah terkenal dari timah dan lada. Perlu di ingat kembali, timah adalah sumber daya alam yang tidak dapat di perbaharui. Sehingga jika masyarakat hanya terpaku dengan pertambangan maka cepat atau lambat akan merugi. Kesimpulan yang dapat diambil adalah cintailah alammu, maka alam akan memberikan kebermanfaatan secara gratis. Jangan merusak alam, karena jika manusia hidup tanpa alam maka manusia akan binasa. Sedangkan alam tanpa manusia akan baik-baik saja. Perlu di renungi bahwa oksigen yang kita hirup selama ini gratis pemberian Tuhan melalui hasil fotosintesis,  bayangkan saja jika oksigen berbayar. Maka akan miskin mendadak kita. Terima kasih PT. Timah atas pengabdian dan jasamu. Akan kuteruskan estafet perjuangan menjaga pulau ini. Jadi, kapan kalian memutuskan untuk berkunjung ke Pulau Bangka?.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kau dan Aku Adalah

Senang itu, ketika senyum simpul muncul dari kedua bibirmu. Terlebih karena aku. Sedih itu, ketika raut kekecewaan tergambar jelas diwajahmu. Lantaran aku. Canda itu, ketika kau bilang cinta. Ternyata hanya pura-pura. Candu itu senyummu, luka itu sedihmu dan bahagia itu ketika kau dan aku sungguh bisa besatu. Nyatanya, semesta tak memberikan ruang lebih kepada sang waktu. Sekadar mewujudkan yang semu menjadi temu. Faktanya, Tuhanpun berencana demikian, takdir tak membuat kau hadir meski hatiku ketar-ketir. Semua tampak nyata dalam imajinasiku. Maaf, mungkin ini sedikit halu. Aku sadar, karena sampai kapanpun. Kau dan aku adalah sebuah ketidakmungkinan.

Cula yang Tersembunyi di Balik Hutan Way Kambas

Indonesia merupakan negara yang kaya akan keanekaragaman hayati dan hewani. salah satu kekayaannya dibuktikan dengan luasnya hutan yang ada di Indonesia hingga mencapai 133.300.543 Hektar. Hutan Indonesia yang begitu luas menjadi alasan dijulukinya Indonesia sebagai salah satu paru-paru dunia. Pepohonan yang ada di hutan menghasilkan oksigen melalui proses fotosintesis. Tidak hanya itu, masih banyak potensi hutan di Indonesia jika dimanfaatkan dengan baik. Salah satunya adalah hutan di Taman Nasional Way Kambas(TNWK) Lampung. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Nasional Way Kambas sebagai ASEAN Heritage Park ke-36 memiliki luas 125.621,30 hektar merupakan habitat dari lima mamalia besar di Sumatra yaitu Gajah Sumatra, Badak Sumatra, Harimau Sumatra, Beruang Madu, dan Tapir. Taman Nasional ya

Pengaruh Pola Pikir Generasi Muda, Terhadap Perkembangan Literasi

Indonesia merupakan sebuah Negara dengan kebudayaan yang sangat beragam. Salah satunya dalam hal agama. Terdapat enam agama yang diakui di Indonesia antara lain: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia merupakan penganut agama Islam terbesar di dunia. Pada tahun 2010 sekitar 87,18% dari 237.641.326 penduduk di Indonesia memeluk agama Islam. Oleh karena itu, perkembangan literasi di Indonesia bahkan dunia, tidak lepas dari kontribusi generasi muda Islam. Literasi selain dikenal sebagai kemampuan menulis dan membaca, juga dapat diartikan sebagai kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Islam dan literasi cukup erat kaitannya. Menurut keyakinan umat Islam, perintah membaca sudah ada sejak zaman dahulu. Tepatnya, ketika Allah menurunkan ayat Alquran berupa surah al-alaq ayat 1-5 kepada Nabi Muhammad Saw. pada saat beliau bertafakur di gua Hira. Iqro “Bacalah” merupakan perintah pertama All