Ada pepatah lama yang mengatakan tak kenal maka tak sayang. Sialnya aku lebih dulu "sayang" sebelum mengenalmu. Bagaimana mungkin? Mungkin saja, kita bisa saja jatuh hati meski belum pernah bertemu. Lalu bagaimana? Daring, menjadi salah satu jalan yang memiliki peluang itu. "Jatuh cintanya daring, patah hatinya luring" ini adalah kalimat ter-pahit yang pernah aku alami sebelumnya. Aku pernah... Mengharapkan temu yang tak kunjung kau jamu, mengharapkan rindu yang tak kunjung kau redam, mengharapkan janji yang tak pernah terbukti. Ya, benar. Daring mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Bahkan dulu... Aku begitu mengharapkanmu. Menunggu kabar yang tak kunjung ku dapat. Padahal kau hanya membalas pesan ketika sempat. "Aku ini kau anggap apa?" Pertanyaan bodoh yang sudah kuketahui jawabannya. Aku memilih menjauhimu lebih dulu, meski tanpa kau jelaskan berulang kali, aku sudah begitu paham. Bahwa kau memintaku untuk menjauh. Kini, mendengar namamu tak...
Rintik hujan kembali menemaniku saat ini, gemuruh suaranya membuatku semakin sadar bahwa hujan sangat tegar. Meskipun ia jatuh berkali-kali, namun masih saja ingin kembali. Ku singkap tirai yang menutupi jendela. Terlihat di luar sana anak-anak kecil dengan euforia menikmati hujan turun. Ku lihat di sekeliling rumah ranting dan dedaunan turut berbahagia menyambut hujan. Suara katak yang menyanyikan lagu entah-berentah, Aku sama sekali tidak paham.
“Andin, makan Nak!. Ibu sudah masak makanan kesukaan kamu” suara Ibu di balik pintu mulai terdengar.
Aku masih saja memandangi hujan dari balik jendela. Rasanya ingin sekali Aku mengulangi masa kecilku. Menari di bawah rintikan hujan, mencuri jambu tetangga atau menangkap keong di sawah. Tetapi sepertinya, itu tidak akan mungkin terulang kembali.
“Sayang… Ibu masuk ya” teriak Ibu lagi.
Aku tidak tuli, Aku masih bisa mendengar suara Ibu. Namun, Aku enggan saja momen ini ada yang mengganggu.
“Andin, kamu sedang melihat apa Nak?” ujar Ibu menepuk bahuku.
Ternyata, tidak hanya ranting dan dedaunan yang basah. Kedua mataku ikut menyambut hujan dengan menitikkan air mata.
“Sayang, kamu kenapa?” ujar Ibu khawatir.
Aku hanya mampu menggeleng dan memeluk Ibu dengan erat. Seolah tak ingin kehilangan Ibu untuk selama-lamanya.
“Andin makan dulu ya, nanti kita ke sana” tutup Ibu yang sudah tahu maksud dan tujuanku.
Ibu adalah manusia yang sangat baik. Bahkan Ibu rela mengorbankan nyawanya demi hidupku. Andai hidup dan mati ini adalah sebuah pilihan, Aku ingin meninggalkan dunia terlebih dahulu sebelum Ibu. Agar setiap hariku dapat melihatnya. Karena Aku tidak akan kuat untuk menjalani hidup tanpa malaikat ini.
“Ibu, bunga di halaman sudah mekar. Cangkul yang di pinjam tetangga juga sudah di kembalikan. Nanti, Andin saja yang bawa Bu!” ujarku pada Ibu.
“Selesaikan makanmu dulu Nak!, hujan di luar juga sudah mulai reda.” Jelas Ibu.
Anggukan tanda persetujuan mengakhiri pembicaraanku dengan Ibu. Setelah makan, Aku berjalan tertatih-tatih menuju halaman rumah. Mengambil satu, dua bahkan tiga tangkai mawar putih. Sedangkan Ibu membantuku dengan mengambil bunga melati, kenanga dan kamboja.
“Ibu, bunga mawar putihnya Aku yang bawa ya?” pintaku riang.
Ibu hanya tersenyum melihatku. Mungkin, di dalam lubuk hatinya ia sangat bahagia dapat melihatku tumbuh sekuat ini.
Aku menyusuri jalan setapak yang licin, dengan sesekali berpegangan dengan Ibu. Karena berulang kali hampir jatuh tergelincir di kubangan air.
“Assalamualaikum Ayah… Andin sama Ibu ke sini, karena kangen sama Ayah” suaraku terputus-putus karena tak kuasa menahan tangis. Ku lihat gundukan tanah yang sudah di tumbuhi beberapa rumput liar itu, basah terkena hujan.
“Kita udah beda alam ya Yah!. Tapi Ayah jangan sedih. Aku selalu doain Ayah kok!” ucapku pelan.
Kaki Ku mulai melemas, setiap kali Aku dan Ibu menyambangi makam Ayah. Rasanya hati ini hancur sekali. Ku usap perlahan nisan Ayah dan merapalkan doa-doa khusus. Aku membubut rumput yang mulai tumbuh di sekitar makam Ayah. Ibu hanya tertunduk haru dan sesekali membantuku untuk menaburkan bunga di atas pusara Ayah.
“Yah, ini mawar putih kesukaan Ayah, Andin petik sendiri lo. Semua bunga dan buah yang Ayah tanam juga sudah mekar dan berbuah ranum. Buah jambu, mangga, pepaya dan masih banyak lagi. Tapi, sayangnya cuma Andin dan Ibu yang bisa mencicipi” isak tangis kembali menyelimutiku.
Kerap kali Aku berkunjung, hal yang selalu aku lakukan adalah bercerita tentang kenangan bersama Ayah. Tangis ini tak henti-hentinya muncul, ibarat satu tahun tangisan tanpa henti saja tidak akan membuat rasa bersalahku kepada Ayah hilang.
“Sudah sayang, ayo kita pulang.” Ujar Ibu membantuku untuk bangkit.
“Sebentar lagi Bu, masih rindu sekali rasanya…” kataku lirih, sembari mengusap nisan Ayah.
Mata ini hanya tertuju kepada nisan Ayah, tertulis tujuh tahun lalu Ayah meninggalkan Aku dengan Ibu. Ingatan yang masih melekat adalah, ketika hari sudah mulai petang dan hujan turun membasahi bumi. Ada seorang anak kecil yang bermain di bawah rintikan hujan, sampai-sampai seorang lelaki paruh baya memintanya untuk pulang. Namun, karena jiwa anak-anak masih ingin bermain. Aku memilih untuk berlari sekencang-kencangnya. Ketika Ayah sudah berjarak sangat dekat, Aku menyeberang jalan berharap akan bebas dari kejaran Ayah. Namun, takdir berkata lain. Dari arah kanan terdapat mobil yang melaju kencang. Melihat hal itu, Ayah menambah kecepatan larinya dan memeluk Ku dengan Erat. Masih terngiang di telingaku Ayah pernah bebisik “Kamu aman Andin” ucapnya pelan. Kami berdua tertabrak mobil yang melintas. Ayah meninggal di tempat, dan Aku harus kehilangan kaki kananku akibat itu. Itulah mengapa Aku sangat merasa bersalah.
“Ayo sayang kita pulang. Ayah tidak ingin melihat kamu bersedih” ucap Ibu, menuntunku pulang.
Benar kata Ibu. Ayah justru akan semakin sedih jika melihat putri kecilnya menangis seperti ini. Aku hanya berharap dapat tumbuh dan menua bersama Ibu. Sehingga dapat merawat taman bunga Ayah, sebagai memorial. Sembari menikmati hujan sebagai pertanda Ayah sedang rindu padaku. Karena bagaimanapun juga. Ayah adalah cinta pertama bagi anak perempuannya.
Komentar
Posting Komentar