Ikan Singkur Ikan jenis ini banyak ditemukan di kepulauan Bangka Belitung, ikan segar cocok diolah menjadi berbagai macam olahan salah satunya ikan panggang, aroma ikan yang semerbak menjadikan ikan ini diminati oleh berbagai kalangan di masyarakat. ikan singkur pun menjadi primadona, ditemani sambal iris bawang dan perasan jeruk limau sungguh meenggugah selera bagi siapa saja yang mencium aromanya. datang dan coba sensasi ikan bakar di Bangka Belitung.
Hutan Itu Indonesia(HII) merupakan sebuah komunitas yang terdiri dari sekumpulan pemuda yang peduli akan hutan yang ada di Indonesia. Komunitas ini berdiri sudah cukup lama, sehingga memiliki relawan yang cukup banyak pula. Beberapa kegiatan yang berkaitan dengan hutan sering mereka selenggarakan. Kampanye yang bertujuan untuk menetapkan hari hutan di Indonesia pun sudah mereka lakukan. Salah satunya mereka menyelenggarakan sebuah lomba katagori blog dan video yang bertemakan tentang pentingnya menjaga hutan. Saya temasuk salah satu peserta yang beruntung karena mendapatkan juara ketiga dalam lomba ini. Adapun hadiah yang saya peroleh melalui katagori blog adalah jalan-jalan gratis ke desa adat Badui. Kegiatan ini berlangsung dari tanggal 16-19 Agustus 2018.
Desa adat badui terletak di Provinsi Banten, kira-kira 40km dari kota Rangkas Bitung. Desa ini cukup terkenal akan adat dan budayanya. Desa ini dibagi menjadi dua yakni desa adat Badui dalam dan desa adat Badui luar. Salah satu yang menjadi daya tarik di desa ini adalah tidak adanya proses pemodernan yang menggerus desa ini, khususnya “Badui dalam”. Desa ini juga terkenal sebagai penghasil tenun serta gula aren. Meskipun demikian tidak adanya peralatan yang canggih atau budaya yang modern. Nyatanya mereka tetap dapat bertahan hidup dengan cara berdampingan dengan alam. Perjalanan kami yang pertama di desa Ciboleger, desa ini bisa di katakan sebagai pusat kota orang Badui, di desa ini terdapat terminal, toko sembako, toko oleh-oleh dan tentunya terdapat listrik. Setelah tiga jam perjalanan menelusuri perkampungan tibalah di desa gazebo. Desa ini belum teraliri oleh listrik, alasannya masih sama, listrik dianggap melanggar ketentuan adat. Padahal, pemerintah sudah kerap kali menawarkan pemasangan gardu listrik, akan tetapi mereka menolaknya. Masyarakat desa gazebo mengenakan pakaian yang dominan berwarna biru. Berbeda dengan adat Badui dalam yang mengenakan pakaian berwarna putih dan hitam. Kepercayaan orang Badui masih menganut kepercayaan sunda wiwitan dimana mereka mempercayai nabi mereka adalah nabi Adam As. Ibadah mereka terbagi menjadi dua jenis yakni khusus yang di gambarkan melalui perilaku sehari-hari dan umum(kawalu) layaknya hari besar keagamaan pada umumnya. Mereka juga melakukan puasa senin dan kamis dengan ketentuan yang melaksanakan harus sudah memiliki akal(balig). Tradisi mereka ketika berbuka adalah mengunyah daun sirih dan meminum air. Mereka juga mempercayai arwah leluhur mereka. Uniknya, setelah tujuh hari kematian, mereka hanya akan mendoakan arwah tersebut dari rumah dan akan membiarkan makamnya(tidak ada ziarah). Meskipun demikian, mereka sangat ramah kepada setiap pengunjung yang singgah di desa tersebut. Melalui kesederhanaan mereka, dengan gambaran rumah yang beratapkan daun dan berdindingkan bambu. Rumah yang dikenal oleh penduduk sekitar dibagi menjadi tiga bagian yakni rumah yang berarti kamar, sedangkan sesoroh adalah serambi dan pepanggek adalah teras. Untuk tamu yang bermalam di desa Badui ini akan di suguhkan nasi yang berasal dari padi Gogo(padi darat) yang di panen dua tahun sekali. Nasi tersebut masih di masak secara tradisional yakni di atas tungku kayu. Minumpun mereka menggunakan gelas yang terbuat dari potongan bamboo. Sumber air yang mereka gunakan untuk MCK(Mandi, Cuci, Kakus) berasal dari sungai yang berada di belakang rumah. Sedangkan, Untuk keperluan minum dan memasak menggunakan air yang berasal dari pegunungan dan dialirkan menggunakan bambu sebagai pengganti pipa. Untuk mempertahankan kehidupan, mereka, lebih memilih membeli beras di pasar dripada harus mengambil padi di lumbung. Karena padi di lumbung akan dijadikan sebagai persediaan ketika musim paceklik tiba. Setelah bermalam di desa gazebo. Kami melanjutkan perjalanan ke desa Cibeo(badui dalam) di desa tersebut alat elektronik sama sekali tidak boleh di gunakan. Hal tersebut untuk mempertahankan adat. Pakaian yang mereka kenakan pun ternyata memiliki makna, putih yang berarti “bisa atau tidak bisa harus berkata benar”, sedangkan warna hitam melambangkan “sebelum matahari terbit maka kehidupan ini gelap”. Awalnya masyarakat Badui hanya terdapat di desa Cibeo(Badui dalam). Namun, setelah perkembangan zaman karena banyaknya masyarakat yang terkadang melanggar aturan adat, atau mereka sudah memutuskan untuk pindah, maka dari itu Badui terbagi menjadi dua yakni Badui dalam dan Badui luar. Banyaknya kebudayaan baru yang di bwa oleh pengunjung membawa dampak yang cukup besar dalam mempengaruhi masyarakat Badui, itulah mengapa anak-anak di Badui tidak boleh mengenyam dunia pendidikan. Karena mereka takut, setelah anak mereka mengetahui hal yang modern mereka akan berubah pikiran dan memutuskan untuk meningggalkan desa adat Badui. Jika hal tersebut terjadi maka akibat yang di timbulkan cukup besar yakni menghilangnya identitas masyarakat Badui yang hidup dalam penuh kesederhanaan. Untuk dunia pendidikan, anak biasanya di ajak pergi ke ladang untuk bertani. Jika dalam dunia matematika ilmu yang mereka peroleh biasanya melalui berdagang. Abjad yang mereka kenal aalah hanacaraka yang terdiri dari dua puluh huruf saja. Di desa Cibeo ini jumlah jiwa berkisar 600 jiwa dengan 145 kepala keluarga. Dominan masyarakat di desa ini adalah laki-laki, jadi merupakan sebuah keberuntungan ketika mereka dapat meminang gadis di desa ini. Untuk proses mereka menikah pun cukup panjang, mereka akan melakukan tiga sesi(lamaran) sesi pertama semacam pertemuan biasa, sesi kedua lelaki boleh menginap di rumah perempuan(beda kamar). Sesi ketiga adalah menikah. Kebanyakan dari mereka menikah karena di jodohkan oleh kedua orang tua. Ketika mereka sudah melakukan kedua sesi tersebut, maka pernikahan tidak boleh di batalkan. Mau tidak mau mereka harus menikahi gadis yang di pilihnya. Karena prinsip mereka adalah nikah itu sekali seumur hidup. Tidak ada kata mendua di anatara mereka. Sehingga orang kanekes(badui) terkenal akan kesetiannya. Selain peraturan adat yang di gunakan sehari-hari untuk mengatur kehidupan mereka. Urang kanekes(masyarakat Badui) memiliki hakulayat kanekes. Yakni yang pertama, hutan garap. Hutan garap merupakan hutan yang boleh dimanfaatkan kayunya maupun buah-buahan yang ada di dalamnya, biasanya untuk menebang kayu di sekitar desa adat harus terlebih dahulu meminta izin kepada puun(ketua adat). Hakulayat yang kedua adalah hutan lindung atau biasa dikenal dengan hutan larangan. Hutan ini sama sekali tidak boleh di ambil secara liar seperti menenbang pohon atau kegiatan lainnya yang dapat merusak alam. Hutan yang mengelilingi desa adat badui ini memiliki luas 5.100,8 Hektar. Luas hutan tersebut dibagi menjadi hutan lindung seluas 3000Hektar dan sisanya seluas 2.100,8 merupakan hutan yang digunakan sebagai pemukiman atau lahan pertanian. Untuk saat ini masyarakat desa adat Badui sangat memegang teguh adat istiadat, karena mereka meyakini bahwa alam ini adalah titipan leluhur. Sehingga siapa saja tidak boleh merusak secara sengaja. Kalau bukan kita yang menjaga alam dan lingkungan sekitar siapa lagi? Biarkan desa adat Badui tetap mempertahankan adat dan kebudayaan mereka, karena kita masih membutuhkan tangan-tangan baik yang tidak merusak alam secara sengaja. Salam dari hutan!
#Ceritadarihutan
#HutanItuIndonesia
Komentar
Posting Komentar