Langsung ke konten utama

Postingan

Dulu, aku begitu mengharapkanmu.

Ada pepatah lama yang mengatakan tak kenal maka tak sayang. Sialnya aku lebih dulu "sayang" sebelum mengenalmu. Bagaimana mungkin? Mungkin saja, kita bisa saja jatuh hati meski belum pernah bertemu. Lalu bagaimana? Daring, menjadi salah satu jalan yang memiliki peluang itu. "Jatuh cintanya daring, patah hatinya luring" ini adalah kalimat ter-pahit yang pernah aku alami sebelumnya. Aku pernah... Mengharapkan temu yang tak kunjung kau jamu, mengharapkan rindu yang tak kunjung kau redam, mengharapkan janji yang tak pernah terbukti. Ya, benar. Daring mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat. Bahkan dulu... Aku begitu mengharapkanmu. Menunggu kabar yang tak kunjung ku dapat. Padahal kau hanya membalas pesan ketika sempat. "Aku ini kau anggap apa?" Pertanyaan bodoh yang sudah kuketahui jawabannya. Aku memilih menjauhimu lebih dulu, meski tanpa kau jelaskan berulang kali, aku sudah begitu paham. Bahwa kau memintaku untuk menjauh. Kini, mendengar namamu tak

Penantian tak Berujung

Penantian tak Berujung Karya: Fifi Nurhafifah Kini hanya aku yang masih merasakan kehadiranmu, mereka melupakan begitu saja setelah kau pergi. Tapi aku yakin kita akan bertemu lagi entah dimana dan kapan waktunya. Rintik hujan perlahan mengguyur tubuhku menyisakan kepahitan yang teramat dalam, kau yang seharusnya duduk disampingku kini telah menghilang dan tak akan pernah kembali. “Cia ayo kita pulang nak!” panggilan itu yang terus berulang, yang dapat kupastikan itu adalah suara ibu. Aku hanya dapat terpaku melihat gundukan tanah didepanku. Aku masih tak percaya Bagus meninggalkan ku secepat ini. Nisan yang bertuliskan namanya pun hanya dapat ku peluk dengan erat, berusaha ku keluarkan semua perasaanku yang teramat dalam padanya. Dengan tersedu-sedu aku masih sempat menaburkan bunga diatas pusaranya. “nak ayo pulang nanti kamu sakit, sudahlah ikhlas kan saja Bagus ia pasti akan ikut sedih melihat kamu seperti ini cia” kata ibu menenangkan. Bagaimana mungkin aku bisa

PUNCAK HARAPAN

Puncak Harapan karya: Fifi Nurhafifah Jam dinding baru saja berdentang dua belas kali. Seluruh lampu sudah dimatikan. Hanya suara jarum detik yang terdengar jelas sejak tadi, sesekali terdengar langkah orang berlalu di jalanan. Kini terdengar langkah lagi. Kali ini perlahan dan hati-hati. Lalu berhenti. Tepat di depan rumah, dengan sigap Ku buka tirai yang berada tepat di samping ranjang Ku. Ku awasi daerah di sekitar rumah dengan penuh keingintahuan. “Siapa disana?” tanya Ku pada sesosok misterius yang berdiri tepat di depan rumahku, dia hanya terdiam sambil sesekali tersenyum kepadaku. Saat itu suasana di luar sangat mengerikan dimana tertambah oleh rintikan hujan, iya pukul 00.00 tepatnya “tolong!!!!!!” teriakku.   krekkk, terbuka lah pintu kamar Ku “non belum tidur” tanya bik Ijah kepadaku. “hemmm, belum bik sebentar lagi” jawab Ku lirih, bik Ijah terlihat heran saat melihat tirai kamarku terbuka, “Aku lihat ada sesosok misterius di depan rumah kita” jelasku,   “

Anekdot Didalam puisi

JERUJI YANG TAK RAPAT karya: Fifi Nurhafifah Si cokelat berpangkat kau memiliki tugas yang mulia kau merupakan penegak hukum di negeri ini kau bertugas mengayomi kami dan juga melayani dengan sepenuh hati kau bekerja siang malam tanpa kenal lelah kau begitu hanya untuk menertibkan kami apa ada yang tidak percaya? ini buktinya.......... kau tangkap para tikus berdasi kau jerat   pengedar narkoba kau tangkap para penjahat agar negara kita ini bebas dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab serta orang-orang yang tak taat tapi..... kenapa masih ada pelanggar lalu lintas yang dapat lewat? koruptor yang selamat? apakah jeruji yang kau dirikan tiada rapat sehingga para pesangkar mencuat keluar? seberapa lamakah kau ke awan mimpi hingga si burung diam terlewat pun kau tak tau. atau ......karna kau di suap? semoga tidak. jangan biarkan negara hukum kita ini di andaikan sebuah pisau yang tajam di bawah serta tumpul di atasnya hany